AGAMA ITU MENYENTUH RASA
AGAMA ITU MENYENTUH RASA
Oleh Fauzan Saleh
Rasa yang bersentuhan dengan agama itu
berakar pada hati nurani kita. Selanjutnya, ketika agama itu menyentuh rasa maka
akan terkespresikan dalam sikap kita pada realitas empirik yang kita hadapi. Saat
rasa kita hadapkan pada Tuhan akan menimbulkan sikap mengagungkan, mengharap rahmat
dan kasih sayang-Nya, sikap bersyukur dan kehendak berperilaku baik pada sesama
makhluk ciptaan-Nya. Jika rasa itu kita hadapkan pada alam maka akan
terekspresikan pada rasa kagum akan keindahan dan keteraturan sistem yang menyertainya.
Jika rasa itu kita hadapkan pada sesama manusia, maka akan terekspresikan pada
sikap saling membutuhkan, menjaga persahabatan, dan keinginan untuk saling
harga menghargai, bantu membantu serta keinginan untuk menanamkan kasih sayang.
Namun ini semua akan terwujud hanya jika hati kita tidak “terluka,” hati yang
utuh, tidak cacat, qalbun salim.
Maka apa yang anda rasakan sepulang
dari shalat subuh berjamaah di masjid? Sama saja, biasa-biasa saja, tidak
merasakan apa-apa? Tidak mungkin. Kata orang Perancis il n’est pas probable.
Paling tidak jika orang mengatakan seperti itu mungkin terasa aneh.
Waktu subuh adalah waktu yang sangat
istimewa. Hanya orang yang benar-benar terpanggil hatinya yang mau segera
meninggalkan kenyamanan dan kehangatan tempat tindurnya untuk segera bersuci,
keluar dari rumah, menuju ke masjid. Sementara orang lain masih terus terlelap
dalam buaian mimpi panjang dengan kehangatan selimutnya. Atau, sebagian dari mereka
sudah sibuk dengan urusan lain, baik di rumah maupun di luar rumah. Ada yang
sudah harus segera menuju ke pasar untuk berbelanja atau menyiapkan
dagangannya, tidak peduli dengan indahnya waktu subuh. Atau buru-buru berangkat
untuk menempuh perjalanan jauh ke luar kota. Sungguh sangat beruntung
orang-orang yang bisa menikmati keindahan waktu subuh dengan segera berangkat
ke masjid untuk melaksanakan shalat subuh berjamaah.
Demikianlah kiranya yang dimaksud
dengan firman Allah “Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai
gelap malam dan dirikanlah pula shalat subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu
disaksikan oleh malaikat” (Q.S. 17: 78). Bagaimana para malaikat menjadi saksi
atas pelaksanaan shalat subuh yang dilakukan oleh umat Islam? Dalam kitab
Tafsir Ibn Katsir dikutip sebuah hadits riwayat Bukhari dan Muslim yang
artinya: “Malaikat malam dan malaikat siang silih berganti menjumpaimu. Mereka
berkumpul dalam shalat subuh dan dalam shalat ashar. Para malaikat malam pun
naik. Kemudian Tuhan bertanya, dan Dia lebih mengetahui terhadapmu, ‘Bagaimana
keadaan hamba-hamba-Ku saat kamu tinggalkan?’ Mereka menjawab ‘Kami menemui
mereka tengah mengerjakan shalat dan kami meninggalkan mereka sedang
menjalankan shalat juga.” Shalat subuh pada momen yang sangat sakral itu
memiliki bobot sangat istimewa, karena mendapatkan kesaksian dari para
malaikat.
Ketika sampai di masjid mereka akan
segera bertemu dengan orang-orang yang mempunyai niat yang sama. Orang-orang
baik yang menyadari indahnya waktu subuh di masjid. Orang baik bertemu dengan orang
baik, datang dengan niat yang baik, untuk bersama-sama melaksanakan kewajiban.
Mereka datang sudah dalam keadaan suci dan bersih. Datang ke tempat yang suci
dengan niat yang baik, ketemu dengan orang baik-baik, sehingga tidak perlu ada
kecurigaan dan keraguan akan kebaikan semua orang yang hadir. Mungkin jumlah mereka
tidak terlalu banyak. Namun di antara mereka yang sedikit itu terpancar nuansa hati
yang ikhlas, damai dan tenteram. Keikhlasan dan kedamaian hati mereka terekspresikan
dalam suasana persaudaraan yang hakiki.
Itulah keindahan
rasa di waktu subuh yang tak mungkin bisa digambarkan dengan kata-kata secara
sempurna. Bahasa manusia tidak cukup untuk menggambarkan keindahannya secara
tepat. Kesan sakral itu sangat membekas pada setiap saat pulang dari masjid
setelah mengikuti shalat subuh berjamaah. Al-Ghazali pun menegaskan bahwa
masalah agama tidak boleh hanya dijadikan perdebatan kosong seperti dilakukan
oleh para ahli kalam dan ahli filsafat, atau kaum rasionalis. Agama adalah
rasa, menyentuh rasa. Orang tidak akan dapat menangkap makna dan esensi agama
jika dia hanya mengandalkan akalnya saja. Tanpa rasa agama akan kehilangan
makna dalam kehidupan kita.
Untuk menegaskan pandangannya, al-Ghazali memperkenalkan kata dzawq ( الذوق)
sebagai metode penyerapan pengetahuan yang mengandung arti persepsi hakekat melalui
penyaksian (الشهود). Rahasia hakekat
hanya dapat tersingkap lewat pengalaman spiritual yang harus diupayakan dengan
penuh kesungguhan. Dengan kata lain, pandangan esoterik tidak mungkin bisa diperoleh lewat pengalaman kognitif, karena intuisi tidak bersandar pada
nalar atau tradisi dialektika, tetapi pada rasa dan keinginan.
Dalam konteks
etika Islam, para ahli teori
etika mengaitkan nilai-nilai etika dengan perasaan halus dan menjadikannya
sesuatu yang fitri pada diri manusia. Sementara bagi para Sufi intuisi dianggap
sebagai suatu kesatuan perasaan mendalam. Itu pun bersifat eksklusif bagi
orang-orang khusus yang telah dibukakan baginya rahasia kebenaran lewat ilham. Oleh karena
itu, intuisi tidak akan sempurna tanpa pengalaman dan kondisi spiritual yang
diperlukan. Intuisi tidak dapat disebut intuisi kecuali disertai tindakan atau
perilaku yang secara alamiah bertentangan dengan pertimbangan rasio. Para Sufi, dalam pandangan Majid Fakhry, adalah kaum intuisionalis (الذوقيون),
karena mereka meyakini bahwa yang bisa mengantarkan manusia pada hakekat adalah
intuisi dan kondisi الذوق والحال)). Metode Sufi tak hanya menyimak dan merenung tetapi
juga berusaha keras untuk berperilaku baik. Para Sufi juga menyingkirkan peran
akal, sebab, bagi mereka, keyakinan tidak dapat dicapai lewat argumentasi ilmu
kalam.
Pandangan al-Ghazali di atas
menegaskan tentang makna pengalaman keagamaan (religious experience). Pengalaman
keagamaan dapat disebut sebagai pengalaman yang diperoleh seseorang berupa
realitas objektif dan memiliki bobot atau makna keagamaan secara khusus.
Realitas itu bisa bersifat individual, berupa suatu keadaan, fakta, atau bahkan
rasa ketiadaan atau fana’, tergantung pada tradisi keagamaan yang menjadi latar
belakangnya. Ia juga bisa berupa pengalaman khusus seperti rasa kagum terhadap
keluasan kosmos tanpa batas, rasa takut dan misteri yang muncul dari sesuatu
yang sakral atau suci. Sebagai istilah tehnis, pengalaman keagamaan belum banyak dikenal hingga
terbitnya karya William James, The Varieties of Religious Experience (1902).
Penerbitan buku ini merepresentasikan suatu kombinasi yang jarang terjadi
sekaligus kreatif antara pendekatan positif dengan pendekatan non-dogmatik, dan
sepenuhnya bersifat empiris dalam mengkaji kehidupan keagamaan dan tipe
pengalaman keagamaan.
Dengan
pendekatan empiris James ingin menekankan sikap afirmatif dalam memahami makna
keyakinan keagamaan. Oleh karenanya, pengalaman keagamaan dapat didefinisikan
sebagai “the sense of life by virtue of which man does not destroy himself,
but lives on. It is the force by which he lives.” Artinya, keyakinan agama
adalah makna kehidupan yang dengan itu orang tidak akan menghancurkan hidupnya,
tetapi untuk melanjutkan kehidupan itu sendiri. Keyakinan agama adalah kekuatan
yang dengan itu manusia bisa menjalani kehidupannya. Dengan definisi
di atas, James menegaskan makna eksistensial yang digali dari pengalaman
empiris dalam kehidupan manusia. Pandangan empirisnya yang mendasari konsepsi
tentang pengalaman keagamaan sekaligus menunjukkan ketidak-sukaan James pada
sistem metafisika yang dianggap kurang memiliki kegunaan secara jelas dalam
kehidupan. Persoalan utama yang perlu ditegaskan ialah “pengalaman” sebagai
tulang punggung sebenarnya dalam kehidupan beragama.
Meskipun semua
manifestasi keagamaan yang terkait dengan dasar keyakinan mungkin bisa dianggap
absurd atau janggal, namun kehidupan yang dibangun berdasarkan keyakinan itu menunjukkan bahwa
pengalaman keagamaan memiliki fungsi amat penting dalam kehidupan
manusia. Prinsip utama dalam kajian agama berdasarkan
pengalaman keagamaan ini ialah bahwa sejak semula agama telah diyakini sebagai
suatu kekuatan nyata dalam kehidupan manusia. Hal ini berbeda dengan pengertian agama dalam bentuk keanggotaan dalam
suatu komunitas
atau jamaah, atau adanya keyakinan tentang kebenaran
doktrin yang harus diterima.
Menurut
William James, pengalaman keagamaan mempunyai empat sifat dasar: transient, ineffable, noetic dan
passive.
Transient berarti bahwa pengalaman itu bersifat
sementara, berlangsung dalam kurun waktu terbatas. Orang akan segera kembali
pada kondisi “normal” seperti keadaan sebelum memperoleh pengalaman keagamaan tersebut.
Ineffable berarti pengalaman keagamaan itu tidak dapat
diungkapkan dengan kata-kata yang tepat. Orang akan mengalami
keterbatasan bahasa untuk dapat mengungkap kedalaman pengalaman yang diperoleh.
Noetic berarti bahwa dengan pengalaman itu orang
akan merasakan dirinya mendapatkan sesuatu yang amat bernilai dan
berharga dari hasil pemahaman yang ia gali dari pengalaman itu.
Passive berarti bahwa pengalaman itu diperoleh di
luar kesadaran atau kehendaknya. Meskipun orang mungkin bisa memperdalam
pengalaman semacam itu melalui meditasi seperti dalam tradisi keagamaan
tertentu, hal itu tetap tidak bisa muncul atau direkayasa sesuai kehendaknya.
Arti agama
dalam kehidupan masyarakat telah lama digali oleh para tokoh. Mereka mengakui
bahwa agama dan keyakinan yang diajarkannya dapat dikenali dari pengalaman
keagamaan para penganutnya. Menurut Immanuel Kant, pengalaman moral yang telah
menjadi bagian penting dalam kesadaran setiap orang ikut menegaskan kebenaran
keyakinan agama yang membimbing kehidupannya. John Wesley, selain menekankan
adanya dorongan moral pada setiap diri manusia juga menyatakan bahwa pengalaman
keagamaan merupakan fondasi yang kokoh bagi terwujudnya komitmen keagamaan
sebagai pandangan hidup manusia. Menurut Friedrich Schleiermacher (1768-1834),
keyakinan agama itu dibangun berdasarkan perasaan akan adanya wujud yang tiada
terbatas, yaitu Tuhan.
Pengertian
pengalaman keagamaan ini digunakan oleh Schleiermacher untuk membela agama
melawan serangan kritik dari kalangan saintis sekuler di samping untuk
mempertahankan pandangan bahwa pengalaman manusia terkait dengan nilai-nilai
moral dan agama membenarkan validitas agama itu sendiri. Pengalaman keagamaan
bersama pengalaman moral masih tetap berpengaruh dalam menjastifikasi kebenaran
keyakinan agama, seperti tercermin dalam pandangan Charles Raven dan Charles
Coulson.
Sejumlah isu
kontroversial muncul terkait dengan kajian mengenai pengalaman keagamaan. Kontroversi itu tidak hanya terkait dengan
perbedaan konsepsi tentang sifat dasar dan struktur pengalaman keagamaan,
tetapi juga terkait dengan model pendekatan yang digunakan dalam mengkaji
persoalan ini. Di antara sejumlah isu kontroversial itu ialah: Apakah
pengalaman keagamaan menunjuk pada pengalaman khusus tentang adanya Tuhan atau
pengalaman apa pun dapat dianggap sebagai pengalaman keagamaan sejauh hal itu
dapat dikaitkan dengan agama. Kriteria yang digunakan untuk membedakan mana
yang termasuk pengalaman keagamaan dan mana yang bukan, seperti halnya ketika
orang menilai karya seni atau masalah moralitas. Persoalan pokoknya ialah apakah pengalaman keagamaan dapat dipahami dan dikaji secara tepat sesuai
dengan watak dasarnya berdasarkan kondisi psikologis dan sosiologis yang
membentuknya. Apakah pengalaman keagamaan memiliki status kognitif mencakup
masalah wujud atau adanya kekuatan transenden yang mengatasi kesadaran manusia,
atau sekedar bersifat subyektif semata-mata berdasarkan pada gagasan dan
perasaan yang tidak mempunyai sandaran di luar dirinya.
Jika dihadapkan
pada pandangan kaum positivis yang membatasi realitas kebenaran hanya
pada hal-hal yang dapat ditangkap dengan pancaindra, maka akan muncul sanggahan
bahwa masalah pengalaman keagamaan ini tidak bisa dikaji. Menurut kaum
positivis berbagai
istilah kunci yang digunakan untuk menggambarkan pengalaman keagamaan, seperti
Tuhan dan kemahakuasaan, dianggap tidak mempunyai arti sama sekali. Tuhan sebagai
sosok personal atau berkepribadian inilah yang memberi pengalaman keagamaan
pada manusia, bukan Tuhan dalam pengertian konsep abstrak seperti dalam
pandangan Aristotle. Menurut Aristotle, Tuhan adalah penggerak
pertama (prime mover) sebagai penyebab terciptanya alam semesta. Dia
juga disebut sebagai penggerak yang tidak berberak, unmoved mover.
Konsepsi
tentang Tuhan dalam pandangan deisme ini tentu tidak bisa dikenali manusia
dengan perasaan batinnya dan tidak bisa memberikan makna bagi munculnya pengalaman
keagamaan. Tuhan dalam konsepsi deisme ini, selain tidak dikenali
kepribadiannya, juga berada jauh di luar alam (transenden). Dia pun telah
meninggalkan dunia ciptaannya dan membiarkannya berkembang sendiri, karena
telah dibekali dengan mekanisme atau sistem yang diperlukan untuk bisa melanjutkan
eksistensinya tanpa campur tangan Tuhan lagi. Dalam kaitan ini maka pengalaman
keagamaan sepenuhnya bersifat emotive, tidak memiliki nilai kognitif
secara tegas. Namun bagi filosof analitis pengikut Ludwig Witgenstein
pengalaman keagamaan dapat dikaji dengan menelaah struktur bahasa agama itu
sendiri. Dalam hal ini makna pengalaman keagamaan itu dapat digali dari bagaimana
suatu bahasa berfungsi dalam berinteraksi di antara komunitas penganut agama
dalam menggunakan bahasa tersebut.
Di kalangan
umat Islam, khususnya para pengamal Tasawuf, pengalaman keagamaan yang mendalam
sering diekspresikan dengan berbagai ungkapan, perilaku atau tindakan yang
menandai kekhususan bentuk hubungan antara manusia dengan Tuhannya. Pengalaman
keagamaan akan selalu diupayakan oleh orang beriman dengan membangun hubungan
sedekat mungkin dengan Tuhannya, meskipun tidak semua praktik ritual dalam
Tasawuf bisa diterima oleh kelompok umat Islam lainnya. Salah satu
praktik ritual dalam Tasawuf itu ialah tari-tarian suci yang bagi ulama salaf
tidak bisa diterima sebagai praktik ritual yang sah untuk mendekatkan diri
dengan Tuhan.
Namun bagi
sebagian pengamal Tarekat, khususnya bagi pengikut aliran Maulawi di Turki yang
dikenal dengan whirling dervishes, tari-tarian itu mengekspresikan
pengalaman keagamaan yang sebenarnya, seperti halnya ritus perputaran dalam
tawaf di Masjidil Haram. Semua pengalaman di atas memainkan peran
penting dalam dinamika kehidupan beragama umat manusia. Para nabi, orang suci,
pelaku asketisme dan para tokoh agama yang terpandang sering mengaku mendapatkan
pengalaman keagamaan yang dimotivasi oleh doktrin agama itu sendiri. Tidak jarang
doktrin agama secara jelas berperan untuk mengekspresikan kedalaman pengalaman
keagamaan tersebut. Pengalaman keagamaan berperan sebagai landasan bagi suatu
keyakinan dan praktik atau pengamalan doktrin agama.
Agama bukan sekedar
rumusan doktrin atau formula baku yang disusun untuk kepentingan pelaksanaan
ritual semata. Di balik berbagai fenomena dan manifestasi
keagamaan yang tampak dalam kehidupan umat beragama terdapat unsur penting yang
jadi tulang punggung kehidupan manusia, yaitu pengalaman keagamaan. Keyakinan
adalah kekuatan pendorong bagi manusia untuk membangun kehidupannya sesuai
dengan nilai-nilai yang diajarkan oleh keyakinan itu. Selanjutnya,
nilai-nilai itu akan memberikan pengalaman secara khusus pada manusia
saat nilai kebenaran yang diajarkan itu dijadikan pedoman dalam menjalani
kehidupan.
Pengalaman
keagamaan memang bersifat subyektif, hanya bisa diperoleh dan dirasakan oleh
orang yang menjalaninya. Maka orang akan memiliki atau mengembangkan pengalaman keagamaan secara
berbeda-beda. Tetapi pengalaman subyektif itu bersifat riil dan empiris, seperti tampak pada berbagai
gejala kongkrit dalam kehidupan. Tidak sedikit karya seni atau
arsitektur diciptakan untuk merefleksikan rasa keindahan yang bersumber dari
pengalaman keagamaan atau nilai-nilai yang berakar pada keyakinan agama. Kajian
antropologi menunjukkan bahwa agama-agama asli telah melahirkan banyak karya
seni, seperti lukisan, patung, lagu, tari dan sastra guna merefleksikan
penghayatan sang seniman terkait dengan nilai-nilai keagamaan yang diyakininya.
Agama
menawarkan dimensi baru dalam kehidupan, sehingga manusia tidak hanya berhenti
pada realitas material semata. Dalam beribadah menyembah Tuhan, manusia memperoleh
pengalaman spiritual betapa Tuhan terasa begitu dekat dan hadir dalam suka dan
duka kehidupannya. Oleh karenanya, modus beragama tidak boleh
berhenti pada formalisme peribadatan atau “pemujaan eksterioritas” semata,
tetapi harus mampu menggali interioritas nilai spiritual dan moralitas. Jika tidak,
maka keberagamaan akan jadi mandul, kering dan keras, tidak memiliki
sensitivitas-kontemplatif.
Nilai-nilai
spiritualitas ini bisa menjadi dasar dari kemajuan suatu bangsa. Bahkan Samuel
Huntington pun mengakui bahwa keberlangsungan Amerika Serikat sebagai negara
adikuasa dunia dan mampu mengungguli Rusia disebabkan karena faktor agama yang menjadi basis
peradaban Amerika. Sementara Uni Soviet hancur karena tidak memiliki
nilai-nilai spiritual yang dibutuhkan untuk membangun peradaban mereka. Sekarang, setelah berubah menjadi Rusia, kehidupan beragama di
negeri itu tampaknya semakin berkembang dengan mayoritas penduduknya menganut
agama Kristen Ortodoks. Sejak keruntuhan Uni Soviet tahun 1991 berkembang pula
kepercayaan Shamanisme yang menyebar luas ke seluruh penjuru Rusia.
Sejalan dengan itu semua, sejarah
komunisme di Rusia tampaknya juga sudah berakhir dengan dibubarkannya Uni
Soviet tahun 1991. Rusia pun sudah bukan negara komunis lagi, sebab sekarang
Rusia sudah berubah menjadi negara republik presidensial yang menganut sistem
pemerintahan semi-presidensial. Rakyat juga memiliki hak untuk menyuarakan
aspirasinya dengan memilih anggota legislatif dan eksekutifnya. Ini memang
tidak berarti bahwa gerakan komunisme sudah hilang sama sekali di negeri
tersebut. Namun keberadaannya sudah tidak mempunyai pengaruh signifikan dalam
penentuan kebijakan pemerintahan di negeri Rusia.
Jadi, rasa yang bersentuhan dengan
agama memiliki spektrum sangat luas. Ternnyata rasa itu tidak banya diperoleh
secara individual dalam bentuk pengalaman batin yang bersifat subyektif setelah
seseorang menjalani serangkaian ibadah. Atau bentuk sublimasi dari nuansa
sakral yang muncul dari kesadaran terdalam pada diri seorang hamba dalam
menjalani perintah Tuhannya dengan taat dan tekun. Rasa yang bersentuhan dengan
agama bisa mendorong timbulnya kesadaran kolektif yang melibatkan orang dalam
jumlah yang besar. Dalam sejarah kita mengenali begitu banyak gerakan sosial
yang muncul karena digerakkan oleh semangat keagamaan. Para ahli sosiologi juga
mengakui bahwa agama mampu membangun kohesivitas sosial dan membangkitkan
semangat perjuangan untuk mewujudkan keadilan dan menolak semua bentuk
penindasan manusia atas manusia lainnya. Dengan sentuhan rasa agama
mendatangkan banyak perubahan sosial.
Comments
Post a Comment