MENGAPA BUMI, MENGAPA MATAHARI? Oleh Fauzan Saleh

 

MENGAPA BUMI, MENGAPA MATAHARI:

Menggali Makna Simbolis Lambang NU dan Muhammadiyah

 

Oleh Fauzan Saleh

Mengacu pada konsep penciptaan primordial, kita mengakui bahwa segala sesuatu yang ada berasal dari Yang Satu. Bumi, matahari, dan alam semesta seluruhnya dahulunya adalah satu substansi yang tak terpisahkan. Kemudian Allah berkehendak untuk memisahkannya. Maka terciptalah alam semesta dengan segala bentuk, rupa dan keragaman isinya. Dalam kajian kosmologi kita mengenal teori the big bang, dentuman besar atau dahsyat.  Teori inilah yang diyakini mampu memberikan penjelasan akademik tentang awal pembentukan alam semesta, sekitar 13,7 miliar tahun yang lalu. Tokoh penting yang dianggap berjasa merumuskan teori ini ialah Georges Lemaitre, 1927. Menurutnya, alam semesta dimulai hanya sebagai satu titik. Setelah terjadi detuman dahsyat, alam semesta kemudian mengembang dan meluas hingga menjadi sebesar sekarang, dan bahkan masih terus meregang lagi.

Ternyata al-Qur’an juga sudah memberikan landasan tentang teori the big bang seperti tercantum dalam Q.S. 21: 30. Ayat ini, selain menjelaskan bahwa langit dan bumi dulunya adalah satu kesatuan wujud yang utuh kemudian dipisahkan oleh Allah, juga menyebutkan bahwa segala yang hidup berawal dari adanya air. Air adalah awal dan sumber kehidupan. Namun ternyata air itu hanya tersedia di bumi, bukan di planet lainnya. Maka kehidupan manusia dan seluruh makhluk hidup lainnya hanya bisa berlangsung di Bumi, bukan di Bulan, Mars, Venus, Jupiter, atau planet yang lain. Semesta pun dibuat-Nya mengembang dan terus mengembang menjadi bertambah luas (Q.S. 51:47). Alam semesta ternyata tidak berada dalam bentuk atau posisinya yang tetap dan statis, namun terus mengembang. Galaksi-galaksi bergerak menjauh dari kita, bintang-bintang terus berubah, lahir, lalu mati, dan begitu seterusnya. Menurut Einstein, Tuhan tidak bermain dadu saat menciptakan alam semesta ini. Menurutnya, alam semesta dan semua hal tercipta dari keharusan yang tak terelakkan. Singkatnya, hukum kausalitas, gerak semesta dapat dipelajari dan semuanya bergerak dengan pasti dan sangat teratur. Semua tidak lepas dari suatu desain atau rancangan awal untuk terciptanya semesta, dan setiap rancangan ditentukan sesuai tujuan yang kelak akan berfungsi untuk kelangsungan semesta dan seluruh penghuninya. Dalam kajian Filsafat Agama hal itu dapat dikaji dalam teori argumen teleologis untuk membuktikan keberadaan Tuhan.

Bumi dan Matahari adalah dua entitas alam yang dijadikan lambang identitas kelompok oleh dua organisasi keagamaan terbesar di Indonesia, NU dan Muhammadiyah. Tetapi mengapa Bumi, dan mengapa Matahari yang dipilih menjadi simbol dasar dari kedua organisasi ini? Apakah ini sekedar kebetulan saja, by accident, atau berdasarkan desain konseptual yang dipikirkan secara matang, by design? Dalam beberapa referensi yang dapat kita lacak, ide digunakannya simbol ini muncul sendiri-sendiri, tanpa ada kaitan antara satu dengan yang lain. Muhammadiyah yang lahir lebih awal dari NU menggunakan simbol atau lambang dasar Matahari, sebagaimana tercermin dalam Mars Muhammadiyah, “Sang Surya.” Lambang Muhammadiyah berbentuk Matahari yang memancarkan duabelas sinar mengarah pada segala penjuru dan di tengah-tengahnya ada tulisan “Muhammadiyah” dalam huruf Arab.  Kemudian pada lingkaran yang mengelilingi tulisan huruf Arab terdapat tulisan berupa syahadat tauhid: “Asyhadu alla Ilaha illallah” pada lingkaran bagian atas, dan pada lingkaran bagian bawah tertulis kalimat syahadat Rasul “Wa-asyhadu anna Muhamadan Rasulullah.” Lengkaplah, ….. “Sang Surya tetap bersinar, syahadat dua melingkar. Warna yang hijau berseri, membuatku rela hati …..”

Matahari merupakan titik pusat dalam sistem tata surya dan merupakan sumber kekuatan semua makhluk hidup yang ada di bumi. Hampir semua makhluk hidup di muka bumi menggantungkan pertumbuhan dan perkembangannya pada sinar matahari. Tanpa sinar matahari, semua tanaman, tumbuh-tumbuhan, binatang dan manusia tidak akan bisa mendapatkan pertumbuhan biologisnya secara baik. Bumi pun akan gelap-membeku, karena tidak mendapatkan sinar matahari yang cukup kuat untuk memecah kebekuan lapisan es di atasnya, sehingga tidak mungkin bisa menumbuhkan tanaman apa pun. Jika matahari menjadi sumber kekuatan biologis, maka Muhammadiyah dengan lambang matahari diharapkan dapat menjadi sumber kekuatan spiritual dengan nilai-nilai Islam yang berintikan dua kalimat syahadat. Duabelas sinar matahari yang memancar ke seluruh penjuru diibaratkan sebagai tekad dan semangat warga Muhammadiyah dalam memperjuangkan Islam, semangat pantang mundur dan tidak mengenal menyerah. Seluruh tulisan dan gambar matahari ini berwarna putih sebagai lambang kesucian dan keikhlasan. Sedangkan warna hijau sebagai warna dasarnya melambangkan kedamaian dan kesejahteraan. Demikian antara lain penjelasan yang biasa digunakan untuk memaknai simbol Muhammadiyah tersebut.

Sementara itu Nahdlatul Ulama’ atau NU menggunakan gambar bumi yang dikelilingi sembilan bintang serta tali melingkari gambar bola bumi sebagai simbol organisasi. Menurut catatan sejarah, lambang NU ini diciptakan oleh Kiai Ridwan Abdullah dari Surabaya. Pada saat Kiai Ridwan diminta untuk menjelaskan makna lambang tersebut dalam kesempatan Muktamar NU ke-2 di Hotel Peneleh, Surabaya (1927), maka Kiai Ridwan mengatakan bahwa tampar atau tali melambangkan agama sesuai dengan firman Allah: “berpegang teguhlah pada tali Allah, dan janganlah bercerai-berai.” Posisi tali mengelilingi bumi melambangkan ukhuwah Islamiyah seluruh umat Islam di dunia. Sedangkan bintang sembilan melambangkan Walisongo, sembilan wali penyebar agama Islam pertama di Tanah Jawa. Hal ini mungkin dimaksudkan bahwa NU dalam menjalankan aktivitas keagamaannya merupakan kelanjutan dari apa yang diajarkan oleh para wali tersebut. Tetapi mengapa bumi yang dijadikan simbol utama NU? Tampaknya ini belum dijelaskan oleh Kiai Ridwan maupun oleh tokoh lain setelahnya.  

Sayangnya, kita tidak mendapatkan gambaran makna lambang NU tersebut secara mudah. Berbeda dengan mars Muhammadiyah, makna lambang NU tidak tercermin dalam lagu resmi organisasinya. Bahkan orang awam mungkin bertanya-tanya apa sebetulnya “lagu kebangsaan NU” itu, yaitu mars yang sedikit banyak menunjukkan lambang NU dan makna simbolis yang dikandungnya. Tampaknya lambang NU itu terlalu sophisticated untuk bisa ditangkap maknanya secara mudah atau instan. Hal itu seperti tidak terlalu dipersoalkan. Yang penting lambang itu dibuat dalam proses yang cukup unik penuh aura kesakralan, dimunculkan oleh seorang ulama’ terpandang dengan otoritas karismatik yang tak perlu dipertanyakan. Maka orang tak perlu memperdebatkan signifikansi lambang itu dalam realitas empirik kekinian.

Terlepas dari perbedaan karakter lambang organisasi tersebut, Bumi dan Matahari, keduanya sangat terkait dengan kehidupan umat manusia dan juga seluruh makhluk hidup di dunia ini. Memang kita hanya bisa hidup di Bumi, salah satu planet dalam sistem tata surya kita. Hanya di Bumilah kita bisa hidup, bukan di Matahari, di Mars, Venus, atau planet lainnya. Hanya di Bumi ini pula seluruh pendukung kehidupan kita tersedia: air, oksigen, tanah yang bisa ditanami, tumbuh-tumbuhan, binatang. Semuanya hanya tersedia di Bumi, bukan di planet lain. Namun kita tidak mungkin bisa hidup di Bumi tanpa adanya Matahari. Tanpa Matahari Bumi ini akan dingin, beku dan gelap gulita. Tanpa Matahari tidak mungkin ada tumbuh-tumbuhan dan binatang yang bisa hidup di muka Bumi ini. Sedangkan kehidupan manusia sangat tergantung pada binatang dan tumbuh-tumbuhan di sekitarnya sebagai suatu kesatuan ekosistem. Dengan cahaya dan kehangatan yang dipancarkan oleh Matahari maka kehidupan di muka Bumi bisa berlangsung, saling menopang dan memenuhi kebutuhan semua makhluk yang ada.

Ketika Muhammadiyah mengambil Matahari dan NU mengambil bola Bumi sebagai lambang organisasi masing-masing, maka, terlepas apakah itu by design atau by accident, kenyataannya kedua entitas alam itu telah merefleksikan karakteristik yang sangat unik dari kedua organisasi keagamaan terbesar di Indonesia tersebut. Matahari adalah sang pemberi pencerahan. Maka karakteristik dasarnya adalah mengedepankan rasionalitas, idealitas dan kejelasan nalar. Bumi, sebagai tempat tinggal kita saat ini, lebih menunjukkan prinsip-prinsip realisme, empirisme dan sekaligus pragmatisme. Atas dasar prinsip ini, perbedaan mendasar dari kedua organisasi tersebut dapat dilihat dari karakteristik idealisme-rasionalistis di satu sisi, dengan kecenderungan realisme-empiris dan pragmatisme di sisi yang lain. Perbedaan karakter itu juga terefleksikan dalam kecenderungan, praktik, dan pandangan keagamaan yang mencirikan perbedaan antara NU dan Muhammadiyah.

Seperti tercatat dalam sejarah, Muhammadiyah lahir dari keprihatinan KH. Ahmad Dahlan atas kondisi bangsa Indonesia, termasuk umat Islam, yang diliputi kemiskinan, ketertinggalan, dan keterpurukan akibat kebodohan dan kejumudan mereka. K.H. Ahmad Dahlan berpikir untuk menghilangkan semua kendala yang dialami umat Islam untuk memperoleh kemajuan dan membangkitkan kesadaran mereka tentang harkatnya sebagai bangsa yang memiliki kedaulatan atas kehidupan di negerinya sendiri. Untuk itu Ahmad Dahlan merancang berbagai agenda untuk memajukan umat Islam di negerinya melalui gerakan dakwah dan pendidikan yang mencerahkan. Maka dia pun merancang sistem pendidikan modern ala Barat. Ada kurikulum, menggunakan sistem klasikal, ada evaluasi pembelajaran, menggunakan media belajar, dan memasukkan ilmu-ilmu umum dalam sistem pmbelajarannya. Model pembelajaran ala Barat ini sengaja dipilih untuk memperbarui pandangan umat Islam khususnya, tentang perubahan zaman yang harus direspon secara konstruktif. Hal ini sangat jauh berbeda dengan sistem pendidikan tradisonal yang hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama berdasarkan kitab-kitab klasik warisan masa lalu. Model pembelajarannya pun masih menggunakan cara lama, tidak ada sistem kelas, tidak mengenal kurikulum, tidak ada evaluasi pembelajaran, belum tersentuh perubahan. Tampaknya sistem pendidikan tradisional sengaja menolak semua model pembelajaran modern ala Belanda, demi mempertahankan warisan dan tradisi yang menjadi ciri utama identitas primordialnya. Kaum tradisonalis belum siap beradaptasi dengan model pembelajaran modern yang diperkenalkan Belanda. Bahkan ada yang menolak mengikuti model Pendidikan Barat tersebut dengan alasan karena dianggap berakar pada tradisi kafir. Barangsiapa berbuat menyerupai apa yang dilakukan orang kafir maka dia merupakan bagian dari orang kafir itu. Demikian antara lain landasan teologis yang mereka yakini sehingga kaum tradisionalis merasa lebih nyaman dengan  bertahan pada tradisi lama tersebut.

Menurut Alwi Syihab (1998), dalam upaya merealisasikan agenda memajukan kehidupan umat Islam, Muhammadiyah secara terbuka menanggulangi pasang naik kegiatan misionaris Kristen dalam berbagai cara, antara lain dengan menyediakan dan meningkatkan fasilitas pendidikan dan kesehatan. Muhammadiyah tidak melakukan tindakan konfrontatif dalam menghadapi gencarnya arus kristenisasi tersebut, tetapi dengan spirit fastabiqul khairat, melalui dinamika persaingan sosial sebagaimana lazimnya gerakan Islam modern bercorak urban. Dimulailah sistem pembelajaran klasikal dengan menggunakan metode yang digunakan oleh sekolah-sekolah Belanda, tetapi dengan muatan ilmu-ilmu agama yang kuat. Upaya memadukan ilmu agama dengan ilmu umum dimaksudkan agar para pemuda lebih terbuka wawasannya, mampu berpikir rasional dan kritis, serta siap membela agama dan bangsanya.

Ilmu-ilmu umum yang dikembangkan di lingkungan Perguruan Muhammadiyah itu antara lain meliputi matematika, fisika, biologi, sejarah, dan bahasa asing (Belanda dan Inggris). Semua ilmu umum ini ditambahkan dalam kurikulum ilmu agama yang sudah berjalan sebelumnya. Tampaknya Ahmad Dahlan terinspirasi oleh model pendidikan yang dilaksanakan oleh pemerintah kolonial yang memadukan ilmu pengetahuan umum dengan Bibel. Maka Ahmad Dahlan pun merancang pendidikan sekolah yang dipadukan dengan al-Qur’an. Ilmu-ilmu umum ini perlu diajarkan pada para pemuda Muslim guna merangsang daya nalar mereka agar mampu berpikir kritis, obyektif dan rasional sebagai bekal awal untuk meraih kemajuan.

Kembali pada pemaknaan simbolis antara matahari dan bumi, maka bola bumi yang dijadikan simbol dasar dari NU, sedikit banyak hal itu juga menjelaskan pandangan keagamaan yang berlaku di kalangan pendukungnya. Bumi, tempat kita berada saat ini, menunjukkan realitas yang harus kita lihat dan kita rasakan. Kita harus realistis, kita tidak tinggal di luar bola bumi, baik di Bulan, Mars, atau Matahari. Maka tidak heran jika muncul kecenderungan realisme-empiris yang mengarah pada pragmatisme dalam perilaku dan pandangan keagamaan yang dikembangkannya. Hal ini dapat dipertegas dengan melihat perbedaan sikap dan pandangan keagamaan antara NU dan Muhammadiyah yang di masa lalu sering menimbulkan perdebatan serius. Sebagian sisa-sisanya juga masih ada yang bertahan dan tidak jarang menimbulkan gesekan sosial. Hal yang menonjol di antaranya ialah terkait dengan penentuan awal dan akhir Ramadhan. Hampir setiap tahun gesekan itu terus berulang, bahkan sampai pada tingkatan yang cukup kritis, mengerikan, disertai ancaman-ancaman.

Secara umum, kalangan NU cukup akomodatif terhadap beberapa tradisi keagamaan yang sudah kuat mengakar dalam kehidupan sehari-hari masyarakat, khususnya di Jawa. Mereka tidak ingin meninggalkan tradisi yang mereka klaim sebagai kearifan lokal, seperti pelaksanaan ritual di kuburan, peringatan hari meninggalnya anggota keluarga atau tokoh tertentu, dan praktik-praktik keagamaan yang berakar pada tradisi tarekat. Di masa lalu, praktik semacam ini merupakan bentuk akomodasi atas praktik-praktik ritual yang dilakukan oleh warga lokal sebelum Islam tersebar di Tanah Jawa secara luas. Sementara itu, Muhammadiyah cenderung begitu strik dalam menjaga kemurnian akidah dengan menolak praktik-praktik yang dipandang bid’ah, khurafat dan takhayul, dan berupaya seoptimal mungkin untuk dapat menjalankan praktik ibadah sesuai yang diajarkan Rasulullah SAW. Untuk itu mereka membentuk majelis khusus dengan tugas menelaah semua pedoman terkait persoalan akidah dan praktik ibadah yang dijalankan selama ini, guna mencari rujukan yang valid langsung dari sumber doktrin utama, al-Qur’an dan Sunnah. Maka berdirilah Majelis Tarjih, semacam lembaga think-tank, untuk melakukan assessment atas semua pandangan dan praktik kehidupan keagamaan bagi warganya. Pandangan ini sebenarnya mencerminkan prinsip-prinsip idealisme untuk menjaga kemurnian akidah dan di dalam menjalankan praktik ritual sehari-hari.

Upaya purifikasi sebagai salah satu ciri utama gerakan pembaruan adalah cerminan bagaimana umat Islam seharusnya menjalankan ajaran agama secara ideal, sesuai tuntunan sumber doktrin yang terpercaya. Maka ketika matahari digunakan sebagai lambang organisasi, tampaknya tidak salah jika dimaknai sebagai cerminan idealisme yang ingin dibangun oleh Muhammadiyah. Semua ini ditempuh oleh Muhammadiyah karena organisasi ini berkeinginan untuk menjadikan ajaran Islam sebagai sumber kekuatan penggerak menuju kemajuan. Untuk itu Islam harus dibebaskan dari beban tradisi yang tidak jelas akarnya dalam sejarah Islam. Diperlukan suatu keberanian untuk mengembalikan Islam yang sederhana, rasional, dan mudah dijalankan dengan membuang beban tradisi yang tidak jelas referensinya. Langkah ini sangat dibutuhkan agar umat Islam bisa berkembang lebih dinamis mengejar ketertinggalannya dalam membangun peradaban dunia modern, sesuai dengan tuntutan zaman. Etos dinamisasi akan semakin berkembang ketika rasionalitas mendapat wadah yang tepat untuk tumbuh dalam kehidupan sosial-budaya warga Persyarikatan. Inilah yang sejak semula didengungkan oleh kaum pembaru dengan menolak anggapan bahwa pintu ijtihad telah ditutup, dan umat Islam diharuskan untuk bertaklid dalam menjalankan perintah agama pada hasil ijtihad para ulama terdahulu semata.

Etos dinamisasi menjadi perhatian sangat sentral dalam gerak organisasi Persyarikatan. Pada dasarnya Muhammadiyah dibangun untuk mengajak umat manusia menerima Islam secara utuh dan totalitas dalam kondisi gembira. Islam tidak mengungkung kehidupan manusia dengan doktrin yang membelenggu akal pikiran, tetapi justru membuat manusia terbebaskan dari belenggu tradisi yang menghambat kemajuan. Maka simbol matahari digunakan untuk mencerahkan akal-budi manusia agar lebih terbuka terhadap kebenaran dan kemajuan. Matahari yang bersinar cerah dengan cahaya terpancar ke segala arah menunjukkan keluasan jangkauan akal-budi manusia untuk menggali ilmu pengetahuan sehingga mereka mampu menemukan kebenaran sesuai dengan tuntunan Ilahi. Sinar matahari juga bisa dimaknai sebagai kekuatan untuk membongkar kebekuan nurani dan akal-budi, sebagaimana halnya ketika cahaya matahari memancarkan kehangatan untuk mengusir kebekuan cuaca di permukaan bumi. Pancaran sinar matahari itulah yang membuat kehidupan bergerak dan berputar membangun dinamika. Berbagai perubahan pun berlangsung secara alamiah, menuju perkembangan dan kemajuan sesuai prinsip pertumbuhan evolutif.

Dalam konteks dakwah Islamiyah sebagai misi utamanya, di samping kegiatan dakwah secara konvensional, Muhammadiyah juga berupaya fokus pada pengembangan Amal Usaha yang dikenal dengan Amal Usaha Muhammadiyah (AUM). Untuk itu, berdirilah berbagai majelis dan lembaga untuk menangani agenda-agenda besar di bidang Kesehatan, Pendidikan, Layanan Sosial, dan Pengembangan Ekonomi, dan lain-lain. Dari agenda tersebut kemudian muncul berbagai Lembaga Pendidikan, mulai dari PAUD/TK hingga Perguruan Tinggi di berbagai pelosok Tanah Air, bahkan sudah menjangkau wilayah di luar negeri. Di bidang Kesehatan sudah berdiri banyak Rumah Sakit dan pusat layanan kesehatan lainnya dengan menggunakan nama Muhammadiyah di hampir seluruh daerah. Demikian pula di bidang pelayanan sosial dan pengembangan ekonomi kerakyatan. Sementara itu NU lebih menonjol dalam agenda merawat tradisi, terutama yang sudah kuat mengakar dalam budaya masyarakat. Mereka seperti enggan untuk menyalahi tradisi itu, bahkan cenderung untuk menjadikannya sebagai landasan dalam mengembangkan sayap dan pengaruhnya, terutama di kalangan masyarakat bawah. Untuk itu mereka cenderung menempatkan ketentuan-ketentuan syari’ah secara fleksibel, demi merawat tradisi. Harus diakui bahwa dalam tiga atau empat dekade terakhir NU juga sudah mengalami lompatan-lompatan spektakuler dalam berbagai kegiatan sosial keagamaannya. Kesempatan warga NU untuk mengejar ketertinggalan mereka ditopang oleh perubahan-perubahan dalam mengelola Lembaga Pendidikan dan juga dalam beradaptasi dengan perubahan sosial budaya dan politik di Tanah Air. Hal itu tentu berkontribusi sangat besar dalam kemajuan yang diraih NU belakangan ini.

Praktik-praktik akomodatif terhadap tradisi ini sebenarnya merupakan cerminan dari watak pragmatisme yang banyak ditopang oleh pemahaman doktrin agama yang longgar, menjurus ke permisivisme, dibumbui tradisi sufisme yang kental. Dengan pendekatan seperti itu, NU lebih mudah menoleransi hal-hal yang berbau klenik, perdukunan, mistik, dan pemujaan arwah leluhur, seperti yang banyak dipraktikkan pada masyarakat Jawa sebelum penyebaran Islam. Tradisi itu kemudian dikemas dalam budaya slametan, ziarah kubur, manakiban, haul, dan lain-lain. Bagi kaum reformis, termasuk Muhammadiyah, praktik-praktik ritual semacam itu akan dihindari karena memang, menurut mereka, tidak mempunyai landasan doktrinal yang bisa dipertanggung jawabkan. Inilah hakekat pendekatan idealisme-rasionalistik yang kemudian mencirikan gerakan puritanisme sebagai karakter umum kalangan reformis/modernis. Pada prinsipnya, setiap amalan agama harus ada dalilnya, di samping contoh pengamalannya dari Rasulullah dan para sahabat beliau. Tanpa dalil dan contoh tersebut maka amalan itu dianggap bukan bagian dari agama yang sah, dan umat Islam tidak perlu merasa bersalah jika tidak mengamalkannya, karena amalan-amalan tersebut tidak memiliki landasan doktrinal yang jelas.

Dalam perhelatan sepektakuler peringatan hari lahir NU satu abad di Sidoarjo, Jawa Timur (7 Feburari 2023), NU mengusung tema “merawat jagad……” Tema yang terkesan ambisius ini tentu menarik untuk dicerna lebih mendalam lagi guna mengetahui karakter umum dan pandangan yang berkembang di kalangan pengikutnya. Di samping itu, jika kita bandingkan dengan tema kegiatan yang diusung oleh Muhammadiyah dalam Muktamar ke-48 di Solo (November 2022), yaitu “Memajukan Indonesia, Mencerahkan Semesta,” maka antara kedua jargon tampak tidak lepas dari makna siombol-simbol yang diangkat oleh keduanya. Orang NU merawat jagad dengan melestarikan tradisi yang sudah ada, tanpa ingin merombaknya secara total. Agama harus mengikuti alur tradisi yang sudah berkembang lebih dahulu. Akhirnya agama tinggal berupa larutan atau balutan yang harus menyesuaikan diri dengan bentuk tradisi yang sudah berkembang. Sedangkan jargon “mencerahkan” tentu mempunyai makna memberikan arah dan gambaran yang jelas seperti apa manusia seharusnya membangun kehidupan, sehingga akan tercipta konstruk budaya baru sebagai alternatif dari tradisi yang sudah berkembang sebelumnya. Memang kita tidak bisa membangun budaya agama terlepas dari kecenderungan-kecenderungan yang sudah kuat mengakar sebelumnya. Tetapi etos “mencerahkan” akan memberi nuansa yang lebih segar, lepas dari dominasi tradisi yang sering membuat kabur batasan antara agama dan budaya lokal.

***

Pada akhirnya kelak kita akan mengakhiri pengembaraan panjang di semesta ini, kembali ke titik nol penciptaan. Ternyata keindahan yang kita saksikan dan kehebatan duniawi yang kita bangun ini hanya bersifat sementara. Semuanya akan kembali ke titik awal penciptaan, hanya dengan satu kali teriakan (صيحة واحدة). Bukankah itu menunjukkan tentang kebenaran teori the big crunch, remukan dahsyat yang mengakhiri seluruh semesta ini? Menurut teori ini alam semesta dari awal kejadiannya terus mengembang dan meluas, sampai semesta ini mencapai batas final energi yang dimilikinya, bagaikan balon. Selama massa pembentuknya masih mampu menopang dirinya untuk mengembang dia akan terus mengembang, sampai titik ledak tertentu yang sudah menjadi kepastiannya. Jadi, apa gunanya kita eker-ekeran terus dan merasa paling benar? Saling membenci dan menganggap orang lain salah karena tidak sesuai dengan pikiran kita? Ternyata, disadari atau tidak, semuanya itu akan kembali ke titik nol, كما بدأكم تعودون.  Maka beruntunglah mereka yang telah berhasil menghiasi kehidupan dengan kebaikan, dan merugilah mereka yang mengotori hidupnya dengan kejahatan: قد أفلح من زكاها وقد خاب من دساها.

Namun masih tersisa suatu pertanyaan: Apakah pola pikir NU itu Aristotelian, dan berujung pada konsep geosentrisme? Dan apakah atas dasar itu pula NU mengambil bola bumi sebagai simbol dasar organisasinya? Dan apakah kaum modernis itu menggunakan pola pikir Copernican yang menghasilkan konsep heliosentrisme, sehingga menjadikan matahari sebagai simbol dasar organisasinya? Sepertinya hal itu tidak perlu disangkal, meskipun mungkin tidak pernah menjadi bahan pertimbangan dalam desain awal kemunculan organisasi ini. Tersirat dari perbedaan antara kedua pola pikir ini bahwa pandangan yang telah kita pegangi dan diyakini kebenarannya suatu saat perlu ditinjau ulang. Betapa kuat mengakar pandangan geosentrisme yang diajukan oleh Aristotle dan menjadi semakin kokoh karena didukung oleh pandangan gereja. Tetapi, sekian abad kemudian, pandangan itu harus dibuang karena validitasnya sudah tidak bisa dipertahankan lagi dengan munculnya penemuan-penemuan baru yang lebih akurat dari Copernicus.

Seperti telah diuraikan di atas, itulah mengapa Muhammadiyah cenderung selalu mencari yang ideal dalam beragama, baik dalam pelaksanaan ibadah, prinsip dasar keyakinan, maupun dalam mewujudkan tatanan sosial yang diidealkan. Semuanya dirujukkan pada sumber doktrin utama, al-Qur’an dan Sunnah. Adapun NU, dengan pola pikir geosentrisme-Aristotelian sebagai panduan, akan melihat realitas empirik sebagai dasar kebenaran. Seperti halnya dalam pandangan geosentrisme orang setiap hari melihat matahari terbit di timur, terus beredar mengelilingi bumi untuk tenggelam di sore hari di barat, dan besuk terbit lagi di timur. Begitu berulang setiap hari. Pengamatan selintas itulah dulu yang menjadikan manusia menganggap bumi sebagai pusat peredaran alam semesta. Padahal, setelah diamati dan dikaji secara ilmiah, ternyata bukan bumi yang menjadi pusat peredaran jagat raya ini. Bumi pun seolah tetap, stabil, tidak begerak. Maka NU akan melihat tradisi yang sudah ada dan diwariskan secara turun-temurun itulah yang harus jadi panutan. Tidak perlu ada pembaruan dan perubahan. Perubahan adalah tanda ketidak-stabilan, ketidak-mantapan.

Tetapi, kembali pada pertanyaan awal: mengapa bumi, mengapa matahari. Kedua-duanya tidak mungkin saling menafikan. Kita memang hanya bisa hidup di muka bumi, bukan di matahari. Tetapi bumi ini tidak akan menjadi tempat tinggal yang layak bagi manusia dalam menjalani kehidupannya tanpa matahari. Apa makna simbolis dari realitas empirik ini? Mengacu pada fakta sejarah, bahwa dengan mengadopsi kemajuan Barat di bidang penyelenggaraan pendidikan, kesehatan, dan layanan sosial, Muhammadiyah dan kelompok pembaru lainnya telah ikut berperan secara signifikan dalam menyiapkan kader-kader pejuang untuk kemerdekaan negeri ini. Hal serupa tentu saja juga telah dilakukan oleh tokoh-tokoh kelompok tradisionalis dalam format berbeda, sesuai kapasitasnya. Namun, tanpa mengenal kemajuan dan ide-ide modernitas, mungkin umat Islam akan terus termarjinalkan oleh kekuatan-kekuatan sekuler dalam merumuskan bentuk dan dasar negara kita. Bisa jadi rumusan Pancasila dan Pembukaan UUD kita tidak akan menjadi seperti yang terbaca saat ini. Intinya, mungkin negeri ini sudah menjadi benar-benar sekuler di bawah kendali kelompok nasionalis yang sama sekali tidak menjadikan agama sebagai pilar dalam membangun bangsa. Ini semata-mata karena tokoh-tokoh umat Islam saat itu belum siap untuk beradu argumentasi dengan kelompok nasionalis tersebut disebabkan minimnya pengetahua umum mereka.

Di sisi lain, keberadaan kelompok tradisionalis akan sangat berperan dalam merawat kalangan bawah agar mereka tetap setia pada ajaran Islam. Kalangan masyarakat bawah yang jumlahnya sangat besar itu hanya mungkin bisa dirangkul jika tersedia sekelompok tokoh dengan sistem kelembagaan yang dibangunnya untuk mewadahi cara pandang keagamaan mereka. Maka harus ada segolongan tokoh yang mampu merawat mereka, agar mereka tidak larut terbawa oleh arus paham keagamaan masa lalu sebelum Islam tersebar di bumi Nusantara. Kelenturan padangan keagamaan kelompok tradisionalis dengan muatan tasawuf yang kental mampu merangkul kelompok bawah yang mayoritas ini. Akhirnya mereka pun tetap merasa diayomi dengan aneka kecenderungan mistik yang sudah kuat mengakar dalam alam pikiran mereka. Mereka tidak bisa diperlakukan secara kaku dan keras. Dengan model pendekatan yang penuh kelembutan dan kelenturan kelompok kelas bawah ini akhirnya tidak lari menjauh dari pandangan keagamaan yang diajarkan oleh Islam.

Dalam konteks ini tidak selayaknya ada pihak-pihak yang merasa paling benar dan ingin menghegemoni pandangan keagamaan yang berlaku. Dalam alam demokrasi tidak ada yang berhak memonopoli kebenaran. Maka biarkanlah masing-masing berjalan sesuai dengan pola pikir yang dianutnya, Aristotelian apa Copernican, dan tidak perlu dibentur-benturkan antara keduanya. Setiap orang bertanggung jawab atas apa yang dilakukannya: كل امرء بما كسب رهين.

Comments

Popular posts from this blog

KOWE KUDU OBAH /By Fauzan Saleh

Syekh Wasil Setono Gedong/by Fauzan Saleh

AGAMA ITU MENYENTUH RASA