Pembacaan Lini Bawan Integrasi Keilmuan PTKI/Fauzan Saleh

 

UNINTENDED CONSEQUENCES:
PEMBACAAN LINI BAWAH PROYEK INTEGRASI ILMU DI PERGURUAN TINGGI KEAGAMAAN ISLAM (PTKI)

Oleh Fauzan Saleh

 

IAIN [PTKI] are critical to understanding the Indonesian Islamic community both for the ways in which they define orthodoxy and act as culture brokers to the wider Islamic community, as well as for their cultural brokerage with Western philosophy and scholarship. This system plays a central role in the critical reexamination of Islam as well as acts as a bridge between various strains of Islam because students come from diverse Muslim backgrounds.

The State Islamic Universities (UIN) have taken some secular subjects. Some faculty members, particularly from the religious departments, feel that these new fields will leach away their students and erode the Islamic character of the university.

Ronald A. Lukens-Bull, 2013.

Education is the most powerful weapon which you can use to change the world.

Nelson Mandela.

Kajian keislaman di Tanah Air sejak awal telah dihadapkan pada problem dikotomi keilmuan. Hal itu telah berlangsung sejak zaman penjajahan Belanda. Ketika penjajah menawarkan sistem pendidikan sekolah yang hanya mengajarkan ilmu-ilmu umum, umat Islam bersikukuh untuk mempertahankan sistem pendidikan tradisional dengan model, materi ajar, dan metode pembelajaran yang sudah kokoh mengakar dalam budaya mereka. Mereka tidak mau mengadopsi model pembelajaran seperti yang ditawarkan oleh pemerintah Belanda.

Belanda memperkenalkan model pembelajaran seperti itu tentu dengan berbagai tujuan dan target, antara lain: (1) Sebagai wujud balas budi atas kemakmuran dan keuntungan ekonomi yang diperoleh dari bangsa Indonesia (politik etis). (2) Menjauhkan kaum Pribumi dari ajaran Islam, melalui pengaruh kalangan elitnya, dan merupakan upaya sistematis untuk mendekatkan mereka pada budaya Eropa agar mereka mudah menerima ajaran Kristen. (3) Untuk mendidik pribumi menjadi pegawai pemerintah Belanda dengan gaji yang lebih murah.

Maka tidak heran jika sebagian umat Islam menyikapinya secara konfrontatif. Namun ada juga umat Islam yang merespons secara lebih konstruktif. Dr. Alwi Syihab (1998) telah menuliskan karya penting dengan judul Membendung Arus: Respons Gerakan Muhammadiyah terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia. Menurut Alwi Syihab, Muhammadiyah secara terbuka berupaya menanggulangi pasang naik kegiatan misionaris Kristen dalam berbagai cara, antara lain dengan menyediakan dan meningkatkan fasilitas pendidikan dan kesehatan. Muhammadiyah tidak menghadapinya melalui permusuhan atau perjuangan fisik, tetapi dengan spirit fastabiqul khairat, melalui dinamika persaingan sosial sebagaimana lazimnya gerakan Islam modern bercorak urban.

Guna membendung arus penetrasi Kristen tersebut Muhammadiyah menyelenggarakan pendidikan dengan memasukkan mata pelajaran umum ke dalam kurikulum pembelajarannya. Dimulailah sistem pembelajaran klasikal dengan menggunakan metode yang digunakan oleh sekolah-sekolah Belanda, tetapi dengan muatan ilmu-ilmu agama yang kuat. Upaya memadukan ilmu agama dengan ilmu umum dimaksudkan agar para pemuda lebih terbuka wawasannya, mampu berpikir rasional dan kritis, serta siap membela agama dan bangsanya. Berdasarkan fakta tersebut, kita melihat sudah ada upaya-upaya untuk mengatasi problem dikotomi keilmuan. Dari saat itu sebagian umat Islam sudah menyadari bahwa dikotomi keilmuan, dengan memisahkan kajian ilmu-ilmu agama dari ilmu pengetahuan umum, telah menjadi salah satu penyebab bagaimana umat Islam tidak mampu menghadapi kemajuan peradaban Barat yang diperkenalkan lewat penjajahan.

***

Menyadari hal tersebut, sejak awal digagas dan dibangun, Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) didesain untuk mencetak ulama’ yang intelek dan intelek yang ulama’. Tidak terlalu berlebihan jika para founding fathers dan perumus kerangka dasar Pendidikan Tinggi Agama Islam di negeri kita bercita-cita mewujudkan generasi muda Muslim yang pandai dan mendalam ilmu agamanya, sekaligus menguasai ilmu pengetahuan umum.  Kedua bidang keilmuan ini harus dikuasai oleh para calon pemimpin umat dan bangsa. Harapan tersebut tidak lepas dari pengalaman pahit di masa lalu saat posisi umat Islam terus dipinggirkan secara sosial politik dan ekonomi, sejak era penjajahan Belanda. Ini tentu tidak lepas dari ketertinggalan mereka dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Apalagi ketika kebijakan pemerintah kolonial Belanda tersebut disikapi secara konfrontatif dengan mengisolasi diri, tidak kooperatif, dan menganggap pendidikan model Belanda adalah pendidikan kafir, tidak perlu ditiru. Alternatifnya umat Islam harus melestarikan dan mengembangkan sendiri model pendidikan tradisionalnya.

Maka berdirinya pondok-pondok pesantren di berbagai pelosok Tanah Air adalah suatu upaya memperkuat pertahanan diri dalam menghadapi gempuran budaya Barat yang dibawa pemerintah Belanda. Penguasa kolonial telah memperkenalkan sistem pendidikan sekolah dengan model pembelajaran dan tujuan pendidikan yang sangat bertolak belakang dengan aspirasi umat Islam saat itu. Terjadilah gap atau kesenjangan yang sangat lebar antara kebanyakan umat Islam dan mereka yang bersedia menerima pendidikan sekolah yang ditawarkan oleh Belanda di negeri kita. Pesantren tidak hanya tertinggal karena kurang mampu mengembangkan metodologi belajar-mengajar, atau tidak memperluas ilmu-ilmu kajiannya, tetapi juga disebabkan karena tidak mendapatkan pengakuan atau dukungan dari pemerintah kolonial. Akibatnya, selain tertahan dalam upaya melestarikan tradisi, komunitas pesantren menjadi kurang responsif terhadap nilai-nilai baru yang berasal dari luar lingkungannya. Menyadari kondisi tersebut muncullah keinginan untuk memadukan antara pendidikan agama dan pendidikan umum dalam satu sistem yang terpadu, sehingga tidak ada lagi dikotomi.

Sementara itu, seperti telah disinggung di depan, politik etis yang dijalankan pemerintah kolonial dengan mengajarkan ilmu-ilmu sekuler sebenarnya terkandung maksud untuk menanamkan benih-benih mental pengabdi setia pada sang tuan. Pendidikan dilaksanakan untuk menyiapkan para siswa menjadi aparatur penguasa kolonial untuk melayani kepentingan penjajah. Secara ekonomis hal itu akan lebih menguntungkan bagi penguasa kolonial, sebab mereka tidak perlu mendatangkan pegawai dari negeri Belanda untuk menjalankan administrasi pemerintahan di negeri jajahan mereka. Merekrut pegawai dari kalangan pribumi yang bersedia digaji rendah akan lebih menguntungkan demi efisiensi anggaran. Selain itu, dengan memberikan layanan pendidikan ala Barat, Belanda sangat berambisi untuk menjauhkan rakyat pribumi dari ajaran Islam dan mempermudah penyebaran agama Kristen kepada penduduk pribumi.

Namun ada sesuatu yang tidak pernah diperhitungkan oleh Belanda dalam melaksanakan kebijakan politik etis ini. Itulah yang dikenal dengan istilah “unintended consequences,” konsekwensi yang tidak disengaja, atau tidak direncanakan. Dan konsekwensi yang tidak disengaja itu justru paradoksikal dengan tujuan utama politik etis mereka. Tujuan politik etis pada dasarnya untuk menyiapkan calon-calon pegawai yang loyal pada penguasa kolonial. Namun dengan semakin banyaknya peluang bagi kaum pribumi untuk mendapatkan pendidikan model Belanda, tidak sedikit kaum pribumi Muslim yang ikut mendapatkan manfaat. Pelajaran fisika, matematika, biologi, dan pengetahuan sejarah telah membuat mereka semakin maju cara berpikirnya dan memiliki wawasan keilmuan yang lebih luas serta semakin kritis terhadap realitas yang mereka hadapi. Ini merupakan modal utama bagi kaum pribumi untuk meraih kemajuan dengan wawasan yang lebih luas dan kecakapan intelektual yang semakin terasah.

Di samping itu, banyak lembaga pemerintah kolonial yang secara tidak sengaja telah membantu penyebaran Islam, seperti kedudukan para pegawai, penggunaan bahasa Melayu, dan sekolah-sekolah pemerintah. Para pegawai pemerintah yang direkrut dari tamatan sekolah pemerintah Belanda sangat dihormati rakyat. Posisi mereka yang tinggi dalam ukuran kelas sosial saat itu menjadikan penduduk pribumi semakin ingin tahu dan mendalami doktrin agama yang mereka anut dan praktik ibadah yang mereka lakukan. Bekerjasama dengan para pedagang Muslim, para pegawai rendahan dan tentara pribumi ini sering berperan sebagai propaganda terbuka bagi penyebaran Islam. Sekolah-sekolah umum yang diseponsori pemerintah secara tidak sengaja (unintended) juga ikut berperan dalam menyebarkan Islam, khususnya ketika pengajarannya berasal dari kalangan guru-guru Muslim yang taat.

Sekolah pemerintah telah memberikan pencerahan kepada penduduk pribumi, karena ia telah membukakan wawasan mereka tentang konsepsi Eropa terkait dengan kemajuan budaya dan pencapaian mereka di bidang teknologi sejalan dengan datangnya era industrialisasi. Ilmu fisika dan matematika, misalnya, diyakini telah membebaskan para pemuda pribumi dari belenggu takhayul dan menjadi senjata bagi mereka untuk memerangi keyakinan-keyakinan sesat sejenis. Secara tidak langsung hal itu telah mendorong kaum terpelajar untuk lebih bersikap rasional terhadap pandangan-pandangan yang keliru dalam hal keyakinan agama. Dengan materi pelajaran eksakta itu para guru telah ikut berperan dalam menanamkan prinsip berpikir yang rasional dan kritis, sehingga para guru tersebut semakin banyak menarik perhatian rakyat awam. Ternyata para guru itu, meskipun harus mengajar di Lembaga Pendidikan kolonial mereka tidak luntur keyakinan agamanya, sekaligus tidak melupakan misi dakwahnya.

Tegasnya, paradoksikal dengan rencana yang semula mereka buat, dengan sistem Pendidikan model Belanda itu, pemerintah kolonial tidak hanya mendorong perluasan kegiatan misionaris tetapi juga berkontribusi, secara tidak sengaja, pada penyebaran Islam. Ilmu pengetahuan dan penemuan teknologi modern tidak hanya membuka jalan bagi kegiatan misionaris, tetapi juga memberi manfaat pada umat Islam untuk menundukkan jiwa kaum pagan yang belum tersentuh dengan ajaran agama. Di sisi lain, semangat mempelajari agama Islam ikut tumbuh sebagai bentuk reaksi atas penetrasi penyebaran agama Kristen di Indonesia. Pendidikan modern model Barat yang diperkenalkan oleh Belanda tidak hanya memberi manfaat bagi kepentingan kaum penjajah, tetapi juga ikut berperan dalam meningkatkan kecerdasan rakyat pribumi, termasuk mereka yang taat menjalankan perintah agamanya. 

***

Dengan uraian di atas, dapat dicatat bahwa persoalan dikotomi dan integrasi keilmuan di PTKI ternyata memiliki akar yang cukup panjang dalam perjalanan perkembangan sosial budaya umat Islam di negeri ini. Seperti telah diuraikan di atas, persoalan dikotomi-integrasi ini tidak lepas dari kepentingan politik pihak-pihak yang berkaitan dengan posisi umat Islam di negeri kita, sejak era penjajahan hingga saat ini. Namun, sejak awal abad ke-21, Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) telah mengalami lompatan-lompatan amat cepat dan mengagumkan. Semua unit PTKI berlomba-lomba melakukan transformasi institusional menuju UIN. Dimotori oleh IAIN Jakarta (2002), Jogjakarta (2004), dan Malang (2004), dari hari ke hari semakin banyak yang berhasil melakukan transformasi tersebut. Dewasa ini kita melihat secara kuantitatif sudah terdapat 58 PTKIN, terdiri dari 17 UIN, 34 IAIN dan 7 STAIN. Dari sekian IAIN yang ada beberapa di antaranya telah mengusulkan diri untuk berubah menjadi UIN. Sekalipun demikian, walaupun sudah berlangsung labih dari 20 tahun, persoalan dikotomi-integrasi keilmuan di PTKI ini tampaknya masih belum tuntas betul pembahasannya. Sampai hari ini kita masih disibukkan dengan proyek integrasi dengan berbagai wacana yang masih sangat dinamis.

Pengalaman Islam pra-modern menunjukkan bahwa agama adalah segalanya. Ia merangkum semua aspek kehidupan masyarakat. Institusi pendidikan, ekonomi, kesenian dan budaya, bahkan politik pun merupakan subordinat dari agama. Menurut Durkheim, hal ini karena masyarakat pra-modern masih belum mengenal sistem diferensiasi secara tegas. Namun, tatanan dunia yang holistik ini mulai mendapatkan tantangan ketika kita memasuki era modern. Hampir semua tradisi keagamaan ikut terdampak dengan datangnya era modern ini. Di era modern ini muncul kecenderungan untuk memisahkan antara etika, ideologi keagamaan, dan ilmu pengetahuan. Ketiga-tiganya adalah entitas berbeda dan tidak perlu saling bersinggungan. Masing-masing entitas memiliki domain tersendiri dan unik. Persinggungan di antara ketiganya mungkin dianggap akan menimbulkan kerancuan dan mengacaukan keunikan masing-masing. Tidak dapat disangkal bahwa pemisahan domain secara ketat ini berkontribusi pada munculnya dikotomi antara ilmu-ilmu agama dan ilmu pengetahuan umum.

Dampak dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pada agama ialah berkurangnya wilayah garapan yang sebelumnya seakan tanpa batas; agama merupakan institusi yang menangani hampir semua persoalan hidup manusia, mulai dari persoalan individu, keluarga, sampai masyarakat dan pemerintahan. Namun, dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, bidang-bidang ini mulai diambil alih dan masuk ke bidang ilmu pengetahuan. Misalnya, fenomena alam semesta dipelajari melalui kajian ilmu pasti, masalah kemanusiaan dikaji dalam ilmu sosial, dan persoalan individu ditelaah oleh psikologi. Manusia mulai mengkaji realitas kehidupan mereka secara otonom, terlepas dari tradisi budaya dan norma keagamaan yang berlaku. Demikianlah, dalam kehidupan modern dikenal institusi-institusi politik, pendidikan, seni, agama, ekonomi, dan seterusnya. Masing-masing memiliki wilayah garapan, wewenang, tujuan, tolok ukur etika dan aturan sendiri-sendiri.

Persoalannya ialah apakah hal itu harus kita berlakukan dalam konteks pembelajaran di PTKI? Ini menjadi suatu persoalan tersendiri. Sesuai dengan dinamika zaman, dewasa ini kita cukup banyak memasukkan kajian-kajian “sekuler” dalam kurikulum kita di PTKIN. Dalam kajian agama (Studi Agama-agama) kita telah lama memasukkan filsafat, sosiologi, fenomenologi, psikologi, di samping sejarah. Kita juga sudah membuka prodi-prodi umum, seperti psikologi, komunikasi, akutansi, bahasa Inggris, juga matematika. Sampai awal dekade ketiga abad ke-21, bidang keilmuan umum yang diadopsi dalam sistem pendidikan PTKI masih menambahkan “label Islam” pada kajian ekonomi, psikologi, komunikasi, dan lain-lain. Tetapi tampaknya, karena tuntutan-legalitas institusional, label itu harus dihilangkan. Seperti disinggung oleh Lukens-Bull di awal tulisan, demi tuntutan pasar, agar mahasiswa kita semakin banyak dan secara kelembagaan kita tidak collapse, maka kita harus membuka prodi-prodi umum tersebut. Tentu dengan segala konsekwensi yang harus ditanggung. Secara umum kajian agama semakin terdesak dan kurang diminati oleh calon mahasiswa. Prodi-prodi agama murni selalu sulit mendapat tambahan calon mahasiswa. Namun yang lebih serius lagi ialah adanya tuduhan bahwa dengan masuknya “mata kuliah sekuler” telah berdampak pada berkembangnya pemikiran liberal dan kekiri-kirian di sebagian kampus PTKIN, bahkan sampai pada tuduhan bahwa IAIN telah menjadi sarang pemurtadan.

Terlepas dari benar tidaknya isu di atas, tuduhan ini tentu telah menimbulkan guncangan mental baik bagi penganggung jawab lembaga terkait maupun umat Islam di negeri ini. Bagaimana mungkin institusi yang dari awal dibangun diharapkan akan menelurkan para intelektual ulama’ itu tiba-tiba malah berubah menjadi sarang pemurtadan. Memang masih perlu kajian lebih serius atas kebenaran kasus tersebut untuk mengetahui duduk perkaranya secara jelas. Apakah benar hal itu semata-mata disebabkan karena dimasukkannya kajian ilmu-ilmu sekuler ke dalam sistem pembelajaran PTKI? Sebagian orang menganggap bahwa tuduhan semacam itu muncul dari sekelompok orang yang tidak sejalan pola pikirnya dengan proyek integrasi keilmuan yang sedang digagas. Orang juga belum bisa memastikan apakah terjadinya pemurtadan di lingkungan IAIN itu karena masuknya kajian ilmu-ilmu umum di dalam sistem pembelajaran IAIN atau karena sebab yang lain. Nyatanya hal itu telah menjadi bagian tak terpisahkan dari dinamika perjalanan sejarah PTKI kita.

Sejauh ini kita telah menempatkan ilmu-ilmu agama sebagai objek kajian akademik dan harus tunduk pada paradigma ilmu agar menjadi ilmiah. Agama bukan lagi sekedar doktrin yang diyakini kebenarannya. Kebenaran agama harus bisa dibuktikan secara ilmiah sehingga harus tunduk pada metodologi ilmu-ilmu sekuler, seperti sosiologi, antropologi, psikologi dan ilmu sejarah. Agama jadi tidak sakral lagi. Untuk itulah kajian agama di lingkungan PTKI harus diajarkan dengan pendekatan ilmiah. Sebagai kajian ilmiah, agama tidak lagi diajarkan sebagai kebenaran yang harus diyakini, tetapi kebenaran yang perlu dikaji secara kritis, obyektif, rasional dan eksploratif. Maka kajian agama harus bisa: (1) Mengembangkan sikap kritis, (2) Mengembangkan pandangan yang obyektif. (3) Mengembangkan wawasan keagamaan yang pluralis, (4) Mengembangkan mentalitas dialogis, dan harus mengarah pada upaya-upaya untuk mengembangkan sikap toleran terhadap perbedaan.

Sejak memasuki abad modern, peran agama semakin dipinggirkan bahkan disingikirkan. Agama dianggap sebagai: (1) Warisan budaya manusia yang belum kritis. (2) Khayalan manusia yang terasing dari dunianya, dan (3) Sublimasi dari keinginan-keinginan manusia yang tidak bisa diwujudkan (Dhavamoni, 1995). Muncul pula kecenderungan reduksionisme yang dilontarkan oleh para ilmuan Eropa abad modern: Freud (psikologisme), Durkheim (sosiologisme), Marx (agama sebagai candu masyarakat), sampai Nietzsche (herden moral). Para tokoh ini menganggap agama tidak lebih dari khayalan yang diciptakan manusia untuk mengatasi problem kehidupannya dengan menyandarkan pada kekuatan khayali yang berada di luar alam. Lebih keras lagi, mereka menganggap manusialah yang menciptakan Tuhan, bukan sebaliknya. Maka, jika mereka sudah menemukan cara-cara yang tepat untuk mengatasi persoalan hidupnya secara ilmiah maka agama akan ditinggalkan sama sekali. Agama pun dianggap sebagai belenggu kebebasan manusia dan menjadi penyebab utama kemunduran umat manusia.

***

Kajian keislaman dengan pendekatan ilmiah ini mengundang berbagai persoalan. Ketika umat Islam dituntut untuk semakin toleran terhadap perbedaan, tidak sedikit orang Islam yang merasa lebih bangga ketika bisa bergaul akrab dengan banyak kalangan non-Islam, sementara mereka kurang senang, atau bahkan ikut mendiskreditkan sesama Muslim yang berpandangan berbeda. Terjadilah paradoksi toleransi: sekelompok orang lebih menoleransi perbedaan agama daripada perbedaan paham di antara sesama saudara Muslim. Selain itu muncul pula gejala pendangkalan iman, liberalisme, sekulerisme, hingga tuduhan telah terjadi pemurtadan. Maka tidak heran jika situasi tersebut memunculkan reaksi balik: berkembangnya kelompok-kelompok yang disebut fundamentalis. Mereka merasa janggal dengan kajian-kajian keagamaan yang sekedar untuk memuaskan nalar intelektual secara kognitif, tetapi kering dari penghayatan nilai-nilai agama. Oleh para pengamat kritis reaksi balik tersebut kemudian dieksplorasi dalam sebuah buku berjudul Conservative Turn: Islam Indonesia dalam Ancaman Fundamentalisme (Mizan, 2014).

Dalam buku ini juga dijelaskan bahwa berkat terbukanya ruang demokrasi sejak berakhirnya rezim Orde Baru, muncul gagasan dan praksis Islam radikal yang bersifat transnasional yang memengaruhi wajah Islam di Indonesia yang dulu dikenal berwajah ramah. Islam di Indonesia telah mengalami conservative turn, berbalik arah ke konservatisme. Penilaian itu dilihat dari fakta, misalnya: konflik antar-agama di beberapa daerah, aksi teror mengatas-namakan agama, konflik internal antara kubu puritan dan kubu progresif di tubuh organisasi Islam arus utama, dan gejala konservatisme MUI, seperti tercermin dalam fatwa sesat yang ditujukan paham-paham sekulerisme, liberalisme, pluralisme, dan seterusnya.

Ada pihak yang merasa sangat cemas tentang masa depan Indonesia ketika bicara tentang kebangkitan konservatisme Islam ini. Dalam pandangan mereka, Indonesia yang bersatu, rukun, damai dan harmonis dalam keragaman pandangan keagamaan mungkin akan tinggal kenangan masa lalu. Padahal persepsi semacam itu boleh jadi hanya cerminan dari ‘prasangka’ (prejudice) dan bias terhadap Islam, dan sekaligus terhadap kaum Muslimin Indonesia. Sayangnya tidak sedikit kalangan internal umat Islam yang ikut mencemaskan kondisi tersebut. Padahal, menurut Azyumardi Azra, kebangkitan konservatisme agama tidak hanya terjadi di kalangan umat Islam saja, tapi juga melanda hampir semua agama. Dengan meningkatnya konservatisme agama, muncul gejala penganut agama yang merasa telah terlahirkan kembali, seperti fenomena “born again Christians.” 

Sejalan dengan datangnya era Post-Secularism, para penganut agama merasa lahir kembali dalam agamanya masing-masing, dan telah mengalami ‘turning point.’ Gejala ini pun berimplikasi pada aspek kehidupan yang lebih luas: sosial budaya, ekonomi, dan politik. Konservatisme agama menolak pemahaman, penafsiran, dan pembaruan pemikiran dan praksis keagamaan berdasarkan perkembangan modern tertentu. Namun secara global, kebangkitan konservatisme agama juga merupakan respon atas berbagai pengalaman buruk yang terus dihadapi oleh umat manusia pada umumnya, seperti kesulitan ekonomi, krisis politik, melemahnya tatanan sosial, dan tidak adanya jaminan keamanan secara adil. Maka muncullah politik identitas yang sangat kental bernuansa agama. Azra menambahkan bahwa fenomena ‘conservative turn’ ini pada dasarnya merupakan bagian integral dari dinamika Islam Indonesia secara keseluruhan, khususnya sejak era 1970-an. Dinamika itu sering disebut sebagai terus meningkatnya perluasan budaya santri, yang oleh Ricklefs (khususnya di Jawa) juga disebut proses ‘Islamisasi.’ Proses itu masih terus berlanjut sejak lebih dari enam abad yang lalu, dan masih akan terus berlangsung di masa-masa mendatang. Maka pertanyaannya: bagaimana proyek integrasi keilmuan di PTKI merespons dinamika tersebut?

Kita telah dengan susah payah berjuang untuk perluasan budaya santri dengan menarik kaum abangan agar lebih dekat dengan Islam. Sejauh ini kaum abangan yang jumahnya cukup besar itu sekedar mengaku Islam tetapi belum mau menjalankan ibadah dengan baik, belum mau mempelajari agama dengan tekun, dan merasa belum akrab dengan simbol-simbol agama. Untuk memperluas jangkauan budaya santri ini keberadaan PTKI menjadi alternatif terbaik bagi kelompok abangan ini untuk menimba ilmu agama secara lebih mendalam, di samping untuk memperbaiki nasib. Performa PTKI yang terus berbenah diri, baik secara fisik maupun manajemen kelembagaan, telah membuka peluang bagi kelompok abangan ini untuk semakin dekat dengan Islam yang ditampilkan secara moderat di lingkungan PTKI. Apalagi sejauh ini kajian ilmu-ilmu agama di PTKI telah diajarkan bersamaan dengan ilmu-ilmu umum, walaupun masih secara terbatas.

***

Sampai saat ini proyek integrasi ilmu di PTKI masih terus berproses, belum final, belum ditemukan bentuk yang paling ideal. Namun, perubahan dan pergeseran yang pernah terjadi di masa lalu mungkin saja berulang. Atau akan terjadi perubahan dalam bentuk yang lain.  Jika kita ikuti adagium l’histoire se repete, bahwa sejarah akan berulang, kemungkinan paling dekat ialah masuknya kembali persaingan ideologis ke dalam sistem pendidikan di PTKI. Indikator ke arah itu bukan tidak ada: kembalinya persaingan ideologis di pentas nasional seperti tercermin dalam kiprah partai-partai politik dewasa ini cukup memengaruhi dinamika internal kampus dan budaya akademiknya. Mungkin hal ini dapat dibaca sebagai konsekwensi wajar dari sebuah mekanisme politik yang didasarkan pada sistem perwakilan. Pertanyaannya, sejauh mana perubahan ini berdampak terhadap pengelolaan PTKI? Tentunya kita berharap tarik menarik antara kepentingan ideologis atau politis tidak merembes ke domain akademis PTKI, apalagi jika ditilik betapa sulitnya menegakkan semangat keilmuan di tubuh PTKI saat ini.

Karena itu, perubahan apa pun yang berlangsung, sebaiknya kita tetap mempertahankan independensi dan kenetralan berbasis akademik yang telah dibangun di lingkungan PTKI sampai saat ini. Dengan keterbatasan yang ada, PTKI pernah menjadi satu-satunya alternatif bagi sebagian besar umat Islam untuk bisa masuk dalam arus modernitas. Kita sangat berhutang budi pada Prof. Amin Abdullah dan tokoh-tokoh lain yang telah berhasil merumuskan bangunan epistemologi untuk integrasi keilmuan di PTKI, sekaligus menjadi pionir transformasi PTKI dari IAIN menjadi UIN. Namun, seperti apa wujud nyata dari implementasi integrasi keilmuan ini yang bisa kita jadikan contoh ideal? Juga: seperti apa outcome sesungguhnya dari integrasi keilmuan? Serta apa parameter keberhasilan implementasi dari bangunan epistemologi yang dikembangkan dalam integrasi keilmuan ini? Inilah kiranya beberapa persoalan yang perlu dijabarkan lebih lanjut untuk menjadikan bangunan integrasi keilmuan ini lebih membumi, bisa diaplikasikan secara tepat, dan dapat diketahui tingkat keberhasilannya.

Secara epistemologis, masalah integrasi keilmuan ini memang masih perlu pengembangan, pengayaan dan penyempurnaan. Namun semangat yang dibangun sejak lebih dari 20 tahun silam ini bukan tanpa hasil signifikan. Dengan pendekatan unintended consequences ternyata kita telah merasakan hasil yang sangat luar biasa. Peran ilmuan Muslim di Tanah Air tidak berhenti pada keahlian akademik atau spesifikasi keilmuan yang digeluti secara sempit. Mereka yang berbasis keilmuan umum/sekuler tampak semakin dekat dengan ilmu-ilmu keagamaan. Sebaliknya, mereka yang menggeluti basis keilmuan agama juga semakin akrab dengan teori-teori keilmuan sekuler guna menambah wawasan akademinya. Mereka yang bergelut di kedua kelompok disiplin keilmuan ini sudah saling menyeberangi dan melintasi batas keahlian dasar yang menjadi tanggung jawab akademiknya.

Sekedar contoh, kita mengenal tokoh-tokoh penting seperti M. Amien Rais, Ahmad Syafi’i Ma’arif, Imaduddin Abdurrahim, Muhammad Nuh, untuk menyebut sedikit contoh. Mereka adalah para ahli di bidang keilmuan sekuler dan mengembangkan karier akademik di perguruan tinggi umum. Namun mereka sangat dikenal sebagai tokoh yang banyak berperan dalam pengembangan kehidupan beragama dan dalam penguatan organisasi keagamaan yang sangat berpengaruh di Tanah Air. Amien Rais dan Syafii Maarif, misalnya, adalah dua tokoh ilmuan Jogjakarta jebolan University of Chicago yang menjadi Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Sedangkan Imaduddin Abdurrahim sebagai seorang ilmuan Teknik Elektro ITB di Bandung, juga dikenal sebagai salah seorang penggagas berdidinya Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) dan Bank Muamalat Indonesia. Dia juga dikenal sebagai pendiri Masjid Salman di Kampus ITB, dan sangat aktif mengembangkan kajian-kajian keislaman yang banyak diminiati di kampus teknik terbesar di Indonesia tersebut. Adapun Muhammad Nuh, selain pernah menjadi rektor ITS Surabaya dan Menteri Pendidikan Nasional RI juga menjadi Ketua Umum Pengurus Badan Wakaf Indonesia (BWI) Pusat. Sebelumnya dia juga pernah menjabat sebagai Ketua Umum ICMI Orwil Jawa Timur. Ternyata para cendekiawan yang bergelar professor doktor ini sudah cukup jauh menyeberang ke wilayah di luar keahlian pokok mereka. Dengan menyandang status seperti itu mereka memiliki kapasitas untuk melakukan tugas dakwah dan menyampaikan pandangan keagamaan yang autoritatif terlepas dari latar belakang pendidikan formal masing-masing. Ini tentu harus diakui sebagai hasil tidak langsung (unintended) dari integrasi keilmuan, meskipun para tokoh ini secara epistemologis mungkin tidak pernah dibentuk dalam instrumentasi integrasi ilmu-ilmu keislaman.

Sementara itu, mereka yang berbasis keilmuan agama juga tidak mau ketinggalan. Tidak sedikit para ilmuan yang berasal dari lingkungan PTKI kemudian mampu mengembangkan diri ke luar basis keilmuannya, menyeberang ke “dunia asing.” Cukup banyak tokoh yang dapat kita jadikan contoh dalam konteks ini. Salah seorang di antaranya ialah Azyumardi Azra. Dia adalah alumni Fakultas Tarbiyah IAIN (sekarang UIN) Jakarta. Namun ternyata dia telah menyeberang jauh, melintasi batas-batas basis keilmuannya. Dia pun tidak hanya dipakai di lingkungan kampusnya saja (sebagai rektor UIN Jakarta pertama) atau dipandang hanya sebagi seorang ahli agama. Perannya dalam kehidupan akademik di luar ilmu keislaman bahkan sudah sangat diakui, bukan saja di Tanah Air, tetapi juga di luar negeri. Pada tahun 2010 dia memperoleh gelar kehormatan Commander of the Order of British Empire (CBE) dari Kerajaan Inggris, dan dengan demikian dia berhak menyandang gelar “sir.” Dia juga memperoleh penghargaan serupa dari kekaisaran Jepang, yaitu Order of the Rising Sun: Gold Silver Star (2017). Meskipun dia “hanya” alumni IAIN ternyata di akhir hayatnya dia diangkat menjadi Ketua Dewan Pers, periode 2022-2025. Sayangnya, belum genap satu tahun dia mengemban tugas terakhir ini Azyumardi Azra sudah dipanggil oleh Tuhan Yang Maha Esa pada usia 67 tahun, September 2022.

Selain Azyumardi Azra, sosok penting yang layak di jadikan contoh dalam konteks ini ialah Burhanuddin Muhtadi, guru besar Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UIN Jakarta. Meskipun latar belakang keilmuan dasarnya (S1) adalah di Fakultas Ushuluddin, ternyata dia mampu melompati Batasan keilmuan agama tersebut dan menyeberang ke bidang lain yang amat jauh berbeda. Burhanuddin Muhtadi bukan hanya aktif sebagai dosen di dalam kampusnya, tetapi juga banyak beraktivitas di luar kampus sebagai peneliti dan narasumber dalam berbagai forum. Dia juga dikenal sebagai Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia. Di samping itu dia juga menjabat sebagai Direktur Public Affairs pada Lembaga Survey Indonesia (LSI). Sebagai peneliti Burhanuddin Muhtadi juga dikenal sebagai analis atau pengamat politik yang muncul di berbagai media. Dia sering diminta menjadi narasumber oleh berbagai media cetak maupun televisi untuk membahas masalah-masalah sosial politik kontemporer. Dia juga mendapat banyak penghargaan atas berbagai prestasi, seperti Charta Politika Award untuk analis politik terbaik, Young Southeast Asia Fellow Award, dan Indonesian Platinum and Best Corporate Award. Pandangan akademiknya tidak lagi hanya sebatas wacana ilmu-ilmu keagamaan, tetapi justru lebih kuat di bidang politik dan sosial. Hal itu dapat kita lihat dari karya-karyanya yang dihasilkan secara produktif. Disertasinya di Australian National University di Canberra (2018) diterbitkan dengan judul Vote Buying in Indonesia: The Mechanics of Electoral Bribery (Palgrave McMillan, 2019). Karya besar ini sudah menunjukkan pergeseran wacana keilmuannya dari keislaman murni ke politik. Oleh karenanya dia tidak lagi dikenal sebagai ilmuan agama tetapi lebih tekun dengan kajian politik kontemporer. Apa makna ini semua? Di satu sisi mungkin ini bisa dibaca sebagai kekhawatiran akan tergerusnya wacana keislaman murni dari PTKI, seperti ditulis oleh Lukens-Bull. Di sisi lain, ini merupakan buah dari integrasi keilmuan yang tidak direncanakan (unintended), baik dalam arti positif maupun sebaliknya.

Tentu tidak hanya dua orang ini saja dari dosen-dosen di lingkungan PTKI yang harus diakui sebagai ilmuan yang berhasil menyeberangi batas. Kita semua juga tahu bahwa kedua tokoh ini bisa “bermanuver” dengan kapasitas intelektualnya di luar habitat asli keilmuan mereka karena ditunjang oleh pendidikan lanjut di luar negeri. Hal ini tentu tidak perlu dipermasalahkan. Tetapi bagaimana kita memaknainya? Selama lebih kurang 40 tahun terakhir Kementerian Agama RI telah banyak mengirimkan dosen-dosen muda PTKI untuk melanjutkan studi S2 dan S3 ke luar negeri, baik ke Timur Tengah maupun ke negara Barat. Mereka dipaksa beradaptasi dengan sistem pendidikan di negara-negara maju di Eropa, Amerika, Australia, Turki, dan negara-negara lain. Meskipun mereka hanya berbekal ilmu dasar dari IAIN waktu itu, dengan diperkuat kecakapan berbahasa Inggris atau Arabnya, ternyata mereka tidak banyak mengalami kesulitan untuk mengikuti perkuliahan di negara-negara maju tersebut. Mereka pun menyebar di berbagai disiplin ilmu, tidak mesti linear dengan disiplin ilmu sebelumnya. Pengalaman ditempa dengan model pembelajaran yang berat disertai keharusan mampu beradaptasi dengan sistem budaya yang asing ternyata telah membuat mereka lebih sigap menghadapi tantangan hidup. Namun yang lebih bermakna dari itu ialah keluasan cara pandang mereka dengan cabang-cabang ilmu baru yang mungkin tidak bisa diraih ketika mereka belajar di dalam negeri. Maka, dengan melihat contoh kedua tokoh terakhir, tidak mengherankan jika mereka akhirnya mampu mengalami lompatan-lompatan pencapaian akademik dan intelektual yang brilian. Pengalaman studi di negara maju membuat mereka lebih siap untuk mengembang dan melintasi batas-batas tradisonal dari bidang keilmuan yang digeluti sebelumnya. Sekembalinya ke tanah air, mereka, bersama sejumlah besar dosen-dosen alumni luar negeri lainnya, telah siap untuk mengawal perubahan dan pembaruan iklim akademik di lingkungan PTKI. Dalam konteks ini, proyek integrasi keilmuan akan lebih mudah dikonsepsikan dan diimplementasikan dalam proses pembelajaran.

Di luar kemunculan para tokoh yang disebutkan di atas, dewasa ini kita tengah menyaksikan fenomena tampilnya para intelektual Muslim organik yang berperan banyak dalam pembangunan masyarakat. Mereka tidak berhenti menjadi intelektual murni yang tinggal di menara gading kampusnya, tetapi bersedia terjun ke tengah masyarakat, melibatkan diri dalam berbagai aktivitas sosial, menyatu dengan dinamika kehidupan riil warga sekitarnya. Ini sangat berbeda dengan kehidupan para intelektual di Barat yang cenderung elitis dan hanya fokus pada profesi akademiknya, kurang peduli dengan kehidupan sosial di lingkungan sekitarnya. Peran para intelektual organik ini sungguh sangat penting dalam memajukan kehidupan masyarakatnya. Tidak sedikit dari mereka yang terjun langsung di dalam organisasi kemasyarakatan, menduduki jabatan pimpinan atau sekedar menjadi anggota aktif, mengisi ceramah-ceramah keagamaan dari level paling bawah di tingkat kampung sampai ke level tertinggi tingkat nasional. Ini barangkali fenomena yang tak terpikirkan terkait dengan unintended consequences tersebut. Jadi integrasi keilmuan itu tidak hanya perlu dikaji secara epistemologis untuk kepentingan kelangsungan dan perkembangan PTKI semata, tetapi juga berdampak luas pada kehidupan sosial kemasyarakatan. Dan hal terakhir itu dalam sistem kelembagaan PTKI kita mendapatkan wadahnya dalam domain pengabdian masyarakat.

***

Pada akhirnya, integrasi adalah sikap, pandangan dan internalisasi nilai-nilai keilmuan secara lintas disiplin dan holistik. Atau, lebih tepatnya bisa disebut sebagai proses aksiologisasi akademik dari satu bidang ilmu yang sempit untuk dikembangkan dalam spektrum lebih luas demi kemanfaatan yang lebih besar. Maka orang bisa berangkat dari keilmuan agama untuk mengembang ke bidang keilmuan umum, atau sebaliknya. Inilah fenomena yang dapat kita lihat sejak awal abad kedua-puluh yang silam, saat para tokoh pembaru begitu gusar dan gelisah melihat betapa keterpurukan umat Islam di negeri ini telah membelenggu kehidupan mereka. Untuk itu harus ada upaya yang kongkrit untuk mengentaskan umat Islam dari kondisi yang sangat tidak menguntungkan tersebut. Salah satu cara ialah dengan mengembangkan Pendidikan Islam yang tertutup dari kemajuan ilmu pengetahuan umum dan teknologi, menuju keterbukaan dan kesiapan mengintegrasikan ilmu agama dan umum, menghapus dikotomi keilmuan.

Tulisan ini diberi judul “Unintended Consequences: Pembacaan Lini Bawah Proyek Integrasi Ilmu di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI),” dengan maksud untuk memberikan catatan bahwa ada sesuatu yang sejauh ini tak tersentuh dalam kajian terkait dengan integrasi ilmu. Apa yang ramai dikaji dalam forum-forum ilmiah terkait dengan topik integrasi ilmu seolah melupakan sisi empirik-fenomenal yang telah berlangsung selama satu abad lebih di negeri kita. Di awal abad ke-20 umat Islam berjuang keras agar mereka bisa bergeser atau melakukan mobilitas horizontal dari posisi marginal dalam percaturan sosial budaya ke posisi tengah, untuk pada saatnya menuju ke posisi puncak secara vertikal. Tampaknya pengembangan keilmuan melalui lembaga pendidikan menjadi alternatif paling strategis. Perbaikan kualitas hidup melalui dunia pendidikan merupakan investasi jangka panjang yang harus dilakukan secara bertahap dan terencana. Maka dimulailah langkah itu dengan memperkaya kurikulum lembaga pendidikan agama kita dengan ilmu-ilmu umum, dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi.

Pembacaan arus bawah ini tidak boleh dilupakan. Walaupun sudah berlangsung satu abad lebih, ternyata arus bawah itu masih cukup kuat mewarnai kehidupan akademik dan sosial budaya di dalam dan di luar kampus. Apa yang menjadi penyebabya? Bisa jadi karena didukung oleh banyak faktor, di antaranya: (1) warisan semangat modernisasi dari era munculnya gerakan pembaruan di awal abad ke-20; (2) saling mendekatnya (rapprochement) antara kelompok tradisonalis dan modernis, sehingga jarak budaya antara keduanya semakin menipis; (3) adanya pembaruan dan liberalisasi pemikiran keagamaan, dan (4) tidak kalah penting, ialah pembaruan sistem dan manajemen pembelajaran di PTKI. Jadi PTKI dalam hal ini tidak bekerja sendirian.

Comments

Popular posts from this blog

KOWE KUDU OBAH /By Fauzan Saleh

Syekh Wasil Setono Gedong/by Fauzan Saleh

AGAMA ITU MENYENTUH RASA