Pembacaan Lini Bawan Integrasi Keilmuan PTKI/Fauzan Saleh
UNINTENDED CONSEQUENCES:
PEMBACAAN LINI BAWAH PROYEK INTEGRASI ILMU DI PERGURUAN TINGGI KEAGAMAAN ISLAM
(PTKI)
Oleh Fauzan Saleh
IAIN [PTKI] are critical to understanding the Indonesian Islamic
community both for the ways in which they define orthodoxy and act as culture
brokers to the wider Islamic community, as well as for their cultural brokerage
with Western philosophy and scholarship. This system plays a central role in
the critical reexamination of Islam as well as acts as a bridge between various
strains of Islam because students come from diverse Muslim backgrounds.
The State Islamic Universities (UIN) have taken some secular
subjects. Some faculty members, particularly from the religious departments,
feel that these new fields will leach away their students and erode the Islamic
character of the university.
Ronald A. Lukens-Bull, 2013.
Education is the most powerful weapon which you can use to change
the world.
Nelson Mandela.
Kajian
keislaman di Tanah Air sejak awal telah dihadapkan pada problem dikotomi
keilmuan. Hal itu telah berlangsung sejak zaman penjajahan Belanda. Ketika
penjajah menawarkan sistem pendidikan sekolah yang hanya mengajarkan ilmu-ilmu
umum, umat Islam bersikukuh untuk mempertahankan sistem pendidikan tradisional
dengan model, materi ajar, dan metode pembelajaran yang sudah kokoh mengakar
dalam budaya mereka. Mereka tidak mau mengadopsi model pembelajaran seperti
yang ditawarkan oleh pemerintah Belanda.
Belanda
memperkenalkan model pembelajaran seperti itu tentu dengan berbagai tujuan dan
target, antara lain: (1) Sebagai wujud balas budi atas kemakmuran dan
keuntungan ekonomi yang diperoleh dari bangsa Indonesia (politik etis). (2) Menjauhkan
kaum Pribumi dari ajaran Islam, melalui pengaruh kalangan elitnya, dan
merupakan upaya sistematis untuk mendekatkan mereka pada budaya Eropa agar
mereka mudah menerima ajaran Kristen. (3) Untuk mendidik pribumi menjadi
pegawai pemerintah Belanda dengan gaji yang lebih murah.
Maka tidak
heran jika sebagian umat Islam menyikapinya secara konfrontatif. Namun ada juga
umat Islam yang merespons secara lebih konstruktif. Dr. Alwi Syihab (1998)
telah menuliskan karya penting dengan judul Membendung Arus: Respons Gerakan
Muhammadiyah terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia. Menurut Alwi
Syihab, Muhammadiyah secara terbuka berupaya menanggulangi pasang naik kegiatan
misionaris Kristen dalam berbagai cara, antara lain dengan menyediakan dan
meningkatkan fasilitas pendidikan dan kesehatan. Muhammadiyah tidak
menghadapinya melalui permusuhan atau perjuangan fisik, tetapi dengan spirit fastabiqul
khairat, melalui dinamika persaingan sosial sebagaimana lazimnya gerakan
Islam modern bercorak urban.
Guna membendung
arus penetrasi Kristen tersebut Muhammadiyah menyelenggarakan pendidikan dengan
memasukkan mata pelajaran umum ke dalam kurikulum pembelajarannya. Dimulailah
sistem pembelajaran klasikal dengan menggunakan metode yang digunakan oleh
sekolah-sekolah Belanda, tetapi dengan muatan ilmu-ilmu agama yang kuat. Upaya
memadukan ilmu agama dengan ilmu umum dimaksudkan agar para pemuda lebih
terbuka wawasannya, mampu berpikir rasional dan kritis, serta siap membela
agama dan bangsanya. Berdasarkan fakta tersebut, kita melihat sudah ada
upaya-upaya untuk mengatasi problem dikotomi keilmuan. Dari saat itu sebagian
umat Islam sudah menyadari bahwa dikotomi keilmuan, dengan memisahkan kajian
ilmu-ilmu agama dari ilmu pengetahuan umum, telah menjadi salah satu penyebab
bagaimana umat Islam tidak mampu menghadapi kemajuan peradaban Barat yang
diperkenalkan lewat penjajahan.
***
Menyadari hal
tersebut, sejak awal digagas dan dibangun, Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri
(PTAIN) didesain untuk mencetak ulama’ yang intelek dan intelek yang ulama’.
Tidak terlalu berlebihan jika para founding fathers dan perumus kerangka
dasar Pendidikan Tinggi Agama Islam di negeri kita bercita-cita mewujudkan
generasi muda Muslim yang pandai dan mendalam ilmu agamanya, sekaligus
menguasai ilmu pengetahuan umum. Kedua
bidang keilmuan ini harus dikuasai oleh para calon pemimpin umat dan bangsa.
Harapan tersebut tidak lepas dari pengalaman pahit di masa lalu saat posisi
umat Islam terus dipinggirkan secara sosial politik dan ekonomi, sejak era
penjajahan Belanda. Ini tentu tidak lepas dari ketertinggalan mereka dalam
penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Apalagi ketika kebijakan pemerintah
kolonial Belanda tersebut disikapi secara konfrontatif dengan mengisolasi diri,
tidak kooperatif, dan menganggap pendidikan model Belanda adalah pendidikan
kafir, tidak perlu ditiru. Alternatifnya umat Islam harus melestarikan dan mengembangkan
sendiri model pendidikan tradisionalnya.
Maka berdirinya
pondok-pondok pesantren di berbagai pelosok Tanah Air adalah suatu upaya memperkuat
pertahanan diri dalam menghadapi gempuran budaya Barat yang dibawa pemerintah
Belanda. Penguasa kolonial telah memperkenalkan sistem pendidikan sekolah
dengan model pembelajaran dan tujuan pendidikan yang sangat bertolak belakang
dengan aspirasi umat Islam saat itu. Terjadilah gap atau kesenjangan yang
sangat lebar antara kebanyakan umat Islam dan mereka yang bersedia menerima
pendidikan sekolah yang ditawarkan oleh Belanda di negeri kita. Pesantren tidak
hanya tertinggal karena kurang mampu mengembangkan metodologi belajar-mengajar,
atau tidak memperluas ilmu-ilmu kajiannya, tetapi juga disebabkan karena tidak
mendapatkan pengakuan atau dukungan dari pemerintah kolonial. Akibatnya, selain
tertahan dalam upaya melestarikan tradisi, komunitas pesantren menjadi kurang
responsif terhadap nilai-nilai baru yang berasal dari luar lingkungannya. Menyadari
kondisi tersebut muncullah keinginan untuk memadukan antara pendidikan agama
dan pendidikan umum dalam satu sistem yang terpadu, sehingga tidak ada lagi
dikotomi.
Sementara itu,
seperti telah disinggung di depan, politik etis yang dijalankan pemerintah
kolonial dengan mengajarkan ilmu-ilmu sekuler sebenarnya terkandung maksud
untuk menanamkan benih-benih mental pengabdi setia pada sang tuan. Pendidikan
dilaksanakan untuk menyiapkan para siswa menjadi aparatur penguasa kolonial
untuk melayani kepentingan penjajah. Secara ekonomis hal itu akan lebih
menguntungkan bagi penguasa kolonial, sebab mereka tidak perlu mendatangkan
pegawai dari negeri Belanda untuk menjalankan administrasi pemerintahan di
negeri jajahan mereka. Merekrut pegawai dari kalangan pribumi yang bersedia
digaji rendah akan lebih menguntungkan demi efisiensi anggaran. Selain itu,
dengan memberikan layanan pendidikan ala Barat, Belanda sangat berambisi untuk
menjauhkan rakyat pribumi dari ajaran Islam dan mempermudah penyebaran agama
Kristen kepada penduduk pribumi.
Namun ada
sesuatu yang tidak pernah diperhitungkan oleh Belanda dalam melaksanakan
kebijakan politik etis ini. Itulah yang dikenal dengan istilah “unintended
consequences,” konsekwensi yang tidak disengaja, atau tidak direncanakan. Dan
konsekwensi yang tidak disengaja itu justru paradoksikal dengan tujuan utama
politik etis mereka. Tujuan politik etis pada dasarnya untuk menyiapkan
calon-calon pegawai yang loyal pada penguasa kolonial. Namun dengan semakin
banyaknya peluang bagi kaum pribumi untuk mendapatkan pendidikan model Belanda,
tidak sedikit kaum pribumi Muslim yang ikut mendapatkan manfaat. Pelajaran
fisika, matematika, biologi, dan pengetahuan sejarah telah membuat mereka
semakin maju cara berpikirnya dan memiliki wawasan keilmuan yang lebih luas
serta semakin kritis terhadap realitas yang mereka hadapi. Ini merupakan modal
utama bagi kaum pribumi untuk meraih kemajuan dengan wawasan yang lebih luas
dan kecakapan intelektual yang semakin terasah.
Di samping itu,
banyak lembaga pemerintah kolonial yang secara tidak sengaja telah membantu
penyebaran Islam, seperti kedudukan para pegawai, penggunaan bahasa Melayu, dan
sekolah-sekolah pemerintah. Para pegawai pemerintah yang direkrut dari tamatan
sekolah pemerintah Belanda sangat dihormati rakyat. Posisi mereka yang tinggi
dalam ukuran kelas sosial saat itu menjadikan penduduk pribumi semakin ingin
tahu dan mendalami doktrin agama yang mereka anut dan praktik ibadah yang
mereka lakukan. Bekerjasama dengan para pedagang Muslim, para pegawai rendahan
dan tentara pribumi ini sering berperan sebagai propaganda terbuka bagi
penyebaran Islam. Sekolah-sekolah umum yang diseponsori pemerintah secara tidak
sengaja (unintended) juga ikut berperan dalam menyebarkan Islam,
khususnya ketika pengajarannya berasal dari kalangan guru-guru Muslim yang taat.
Sekolah
pemerintah telah memberikan pencerahan kepada penduduk pribumi, karena ia telah
membukakan wawasan mereka tentang konsepsi Eropa terkait dengan kemajuan budaya
dan pencapaian mereka di bidang teknologi sejalan dengan datangnya era industrialisasi.
Ilmu fisika dan matematika, misalnya, diyakini telah membebaskan para pemuda
pribumi dari belenggu takhayul dan menjadi senjata bagi mereka untuk memerangi
keyakinan-keyakinan sesat sejenis. Secara tidak langsung hal itu telah
mendorong kaum terpelajar untuk lebih bersikap rasional terhadap
pandangan-pandangan yang keliru dalam hal keyakinan agama. Dengan materi
pelajaran eksakta itu para guru telah ikut berperan dalam menanamkan prinsip
berpikir yang rasional dan kritis, sehingga para guru tersebut semakin banyak
menarik perhatian rakyat awam. Ternyata para guru itu, meskipun harus mengajar
di Lembaga Pendidikan kolonial mereka tidak luntur keyakinan agamanya,
sekaligus tidak melupakan misi dakwahnya.
Tegasnya,
paradoksikal dengan rencana yang semula mereka buat, dengan sistem Pendidikan
model Belanda itu, pemerintah kolonial tidak hanya mendorong perluasan kegiatan
misionaris tetapi juga berkontribusi, secara tidak sengaja, pada penyebaran
Islam. Ilmu pengetahuan dan penemuan teknologi modern tidak hanya membuka jalan
bagi kegiatan misionaris, tetapi juga memberi manfaat pada umat Islam untuk
menundukkan jiwa kaum pagan yang belum tersentuh dengan ajaran agama. Di sisi
lain, semangat mempelajari agama Islam ikut tumbuh sebagai bentuk reaksi atas
penetrasi penyebaran agama Kristen di Indonesia. Pendidikan modern model Barat
yang diperkenalkan oleh Belanda tidak hanya memberi manfaat bagi kepentingan
kaum penjajah, tetapi juga ikut berperan dalam meningkatkan kecerdasan rakyat
pribumi, termasuk mereka yang taat menjalankan perintah agamanya.
***
Dengan uraian
di atas, dapat dicatat bahwa persoalan dikotomi dan integrasi keilmuan di PTKI
ternyata memiliki akar yang cukup panjang dalam perjalanan perkembangan sosial
budaya umat Islam di negeri ini. Seperti telah diuraikan di atas, persoalan
dikotomi-integrasi ini tidak lepas dari kepentingan politik pihak-pihak yang
berkaitan dengan posisi umat Islam di negeri kita, sejak era penjajahan hingga
saat ini. Namun, sejak awal abad ke-21, Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam
(PTKI) telah mengalami lompatan-lompatan amat cepat dan mengagumkan. Semua unit
PTKI berlomba-lomba melakukan transformasi institusional menuju UIN. Dimotori
oleh IAIN Jakarta (2002), Jogjakarta (2004), dan Malang (2004), dari hari ke
hari semakin banyak yang berhasil melakukan transformasi tersebut. Dewasa ini
kita melihat secara kuantitatif sudah terdapat 58 PTKIN, terdiri dari 17 UIN,
34 IAIN dan 7 STAIN. Dari sekian IAIN yang ada beberapa di antaranya telah
mengusulkan diri untuk berubah menjadi UIN. Sekalipun demikian, walaupun sudah
berlangsung labih dari 20 tahun, persoalan dikotomi-integrasi keilmuan di PTKI
ini tampaknya masih belum tuntas betul pembahasannya. Sampai hari ini kita
masih disibukkan dengan proyek integrasi dengan berbagai wacana yang masih
sangat dinamis.
Pengalaman
Islam pra-modern menunjukkan bahwa agama adalah segalanya. Ia merangkum semua
aspek kehidupan masyarakat. Institusi pendidikan, ekonomi, kesenian dan budaya,
bahkan politik pun merupakan subordinat dari agama. Menurut Durkheim, hal ini
karena masyarakat pra-modern masih belum mengenal sistem diferensiasi secara
tegas. Namun, tatanan dunia yang holistik ini mulai mendapatkan tantangan
ketika kita memasuki era modern. Hampir semua tradisi keagamaan ikut terdampak
dengan datangnya era modern ini. Di era modern ini muncul kecenderungan untuk
memisahkan antara etika, ideologi keagamaan, dan ilmu pengetahuan.
Ketiga-tiganya adalah entitas berbeda dan tidak perlu saling bersinggungan. Masing-masing
entitas memiliki domain tersendiri dan unik. Persinggungan di antara ketiganya
mungkin dianggap akan menimbulkan kerancuan dan mengacaukan keunikan
masing-masing. Tidak dapat disangkal bahwa pemisahan domain secara ketat ini
berkontribusi pada munculnya dikotomi antara ilmu-ilmu agama dan ilmu
pengetahuan umum.
Dampak dari
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pada agama ialah berkurangnya
wilayah garapan yang sebelumnya seakan tanpa batas; agama merupakan institusi
yang menangani hampir semua persoalan hidup manusia, mulai dari persoalan
individu, keluarga, sampai masyarakat dan pemerintahan. Namun, dengan
berkembangnya ilmu pengetahuan, bidang-bidang ini mulai diambil alih dan masuk
ke bidang ilmu pengetahuan. Misalnya, fenomena alam semesta dipelajari melalui
kajian ilmu pasti, masalah kemanusiaan dikaji dalam ilmu sosial, dan persoalan
individu ditelaah oleh psikologi. Manusia mulai mengkaji realitas kehidupan
mereka secara otonom, terlepas dari tradisi budaya dan norma keagamaan yang
berlaku. Demikianlah, dalam kehidupan modern dikenal institusi-institusi
politik, pendidikan, seni, agama, ekonomi, dan seterusnya. Masing-masing
memiliki wilayah garapan, wewenang, tujuan, tolok ukur etika dan aturan
sendiri-sendiri.
Persoalannya
ialah apakah hal itu harus kita berlakukan dalam konteks pembelajaran di PTKI?
Ini menjadi suatu persoalan tersendiri. Sesuai dengan dinamika zaman, dewasa
ini kita cukup banyak memasukkan kajian-kajian “sekuler” dalam kurikulum kita
di PTKIN. Dalam kajian agama (Studi Agama-agama) kita telah lama memasukkan
filsafat, sosiologi, fenomenologi, psikologi, di samping sejarah. Kita juga
sudah membuka prodi-prodi umum, seperti psikologi, komunikasi, akutansi, bahasa
Inggris, juga matematika. Sampai awal dekade ketiga abad ke-21, bidang keilmuan
umum yang diadopsi dalam sistem pendidikan PTKI masih menambahkan “label Islam”
pada kajian ekonomi, psikologi, komunikasi, dan lain-lain. Tetapi tampaknya,
karena tuntutan-legalitas institusional, label itu harus dihilangkan. Seperti
disinggung oleh Lukens-Bull di awal tulisan, demi tuntutan pasar, agar
mahasiswa kita semakin banyak dan secara kelembagaan kita tidak collapse,
maka kita harus membuka prodi-prodi umum tersebut. Tentu dengan segala
konsekwensi yang harus ditanggung. Secara umum kajian agama semakin terdesak
dan kurang diminati oleh calon mahasiswa. Prodi-prodi agama murni selalu sulit
mendapat tambahan calon mahasiswa. Namun yang lebih serius lagi ialah adanya tuduhan
bahwa dengan masuknya “mata kuliah sekuler” telah berdampak pada berkembangnya
pemikiran liberal dan kekiri-kirian di sebagian kampus PTKIN, bahkan sampai
pada tuduhan bahwa IAIN telah menjadi sarang pemurtadan.
Terlepas dari
benar tidaknya isu di atas, tuduhan ini tentu telah menimbulkan guncangan
mental baik bagi penganggung jawab lembaga terkait maupun umat Islam di negeri
ini. Bagaimana mungkin institusi yang dari awal dibangun diharapkan akan
menelurkan para intelektual ulama’ itu tiba-tiba malah berubah menjadi sarang
pemurtadan. Memang masih perlu kajian lebih serius atas kebenaran kasus
tersebut untuk mengetahui duduk perkaranya secara jelas. Apakah benar hal itu semata-mata
disebabkan karena dimasukkannya kajian ilmu-ilmu sekuler ke dalam sistem
pembelajaran PTKI? Sebagian orang menganggap bahwa tuduhan semacam itu muncul
dari sekelompok orang yang tidak sejalan pola pikirnya dengan proyek integrasi
keilmuan yang sedang digagas. Orang juga belum bisa memastikan apakah
terjadinya pemurtadan di lingkungan IAIN itu karena masuknya kajian ilmu-ilmu
umum di dalam sistem pembelajaran IAIN atau karena sebab yang lain. Nyatanya
hal itu telah menjadi bagian tak terpisahkan dari dinamika perjalanan sejarah
PTKI kita.
Sejauh ini kita
telah menempatkan ilmu-ilmu agama sebagai objek kajian akademik dan harus
tunduk pada paradigma ilmu agar menjadi ilmiah. Agama bukan lagi sekedar
doktrin yang diyakini kebenarannya. Kebenaran agama harus bisa dibuktikan
secara ilmiah sehingga harus tunduk pada metodologi ilmu-ilmu sekuler, seperti
sosiologi, antropologi, psikologi dan ilmu sejarah. Agama jadi tidak sakral
lagi. Untuk itulah kajian agama di lingkungan PTKI harus diajarkan dengan
pendekatan ilmiah. Sebagai kajian ilmiah, agama tidak lagi diajarkan sebagai
kebenaran yang harus diyakini, tetapi kebenaran yang perlu dikaji secara
kritis, obyektif, rasional dan eksploratif. Maka kajian agama harus bisa: (1) Mengembangkan
sikap kritis, (2) Mengembangkan pandangan yang obyektif. (3) Mengembangkan
wawasan keagamaan yang pluralis, (4) Mengembangkan mentalitas dialogis, dan harus
mengarah pada upaya-upaya untuk mengembangkan sikap toleran terhadap perbedaan.
Sejak memasuki
abad modern, peran agama semakin dipinggirkan bahkan disingikirkan. Agama
dianggap sebagai: (1) Warisan budaya manusia yang belum kritis. (2) Khayalan
manusia yang terasing dari dunianya, dan (3) Sublimasi dari keinginan-keinginan
manusia yang tidak bisa diwujudkan (Dhavamoni, 1995). Muncul pula kecenderungan
reduksionisme yang dilontarkan oleh para ilmuan Eropa abad modern: Freud
(psikologisme), Durkheim (sosiologisme), Marx (agama sebagai candu masyarakat),
sampai Nietzsche (herden moral). Para tokoh ini menganggap agama tidak lebih
dari khayalan yang diciptakan manusia untuk mengatasi problem kehidupannya dengan
menyandarkan pada kekuatan khayali yang berada di luar alam. Lebih keras lagi,
mereka menganggap manusialah yang menciptakan Tuhan, bukan sebaliknya. Maka, jika
mereka sudah menemukan cara-cara yang tepat untuk mengatasi persoalan hidupnya
secara ilmiah maka agama akan ditinggalkan sama sekali. Agama pun dianggap
sebagai belenggu kebebasan manusia dan menjadi penyebab utama kemunduran umat
manusia.
***
Kajian
keislaman dengan pendekatan ilmiah ini mengundang berbagai persoalan. Ketika
umat Islam dituntut untuk semakin toleran terhadap perbedaan, tidak sedikit
orang Islam yang merasa lebih bangga ketika bisa bergaul akrab dengan banyak
kalangan non-Islam, sementara mereka kurang senang, atau bahkan ikut
mendiskreditkan sesama Muslim yang berpandangan berbeda. Terjadilah paradoksi
toleransi: sekelompok orang lebih menoleransi perbedaan agama daripada
perbedaan paham di antara sesama saudara Muslim. Selain itu muncul pula gejala
pendangkalan iman, liberalisme, sekulerisme, hingga tuduhan telah terjadi
pemurtadan. Maka tidak heran jika situasi tersebut memunculkan reaksi balik:
berkembangnya kelompok-kelompok yang disebut fundamentalis. Mereka merasa
janggal dengan kajian-kajian keagamaan yang sekedar untuk memuaskan nalar
intelektual secara kognitif, tetapi kering dari penghayatan nilai-nilai agama.
Oleh para pengamat kritis reaksi balik tersebut kemudian dieksplorasi dalam
sebuah buku berjudul Conservative Turn: Islam Indonesia dalam Ancaman
Fundamentalisme (Mizan, 2014).
Dalam buku ini
juga dijelaskan bahwa berkat terbukanya ruang demokrasi sejak berakhirnya rezim
Orde Baru, muncul gagasan dan praksis Islam radikal yang bersifat transnasional
yang memengaruhi wajah Islam di Indonesia yang dulu dikenal berwajah ramah.
Islam di Indonesia telah mengalami conservative turn, berbalik arah ke
konservatisme. Penilaian itu dilihat dari fakta, misalnya: konflik antar-agama
di beberapa daerah, aksi teror mengatas-namakan agama, konflik internal antara
kubu puritan dan kubu progresif di tubuh organisasi Islam arus utama, dan gejala
konservatisme MUI, seperti tercermin dalam fatwa sesat yang ditujukan paham-paham
sekulerisme, liberalisme, pluralisme, dan seterusnya.
Ada pihak yang
merasa sangat cemas tentang masa depan Indonesia ketika bicara tentang
kebangkitan konservatisme Islam ini. Dalam pandangan mereka, Indonesia yang
bersatu, rukun, damai dan harmonis dalam keragaman pandangan keagamaan mungkin
akan tinggal kenangan masa lalu. Padahal persepsi semacam itu boleh jadi hanya
cerminan dari ‘prasangka’ (prejudice) dan bias terhadap Islam,
dan sekaligus terhadap kaum Muslimin Indonesia. Sayangnya tidak sedikit
kalangan internal umat Islam yang ikut mencemaskan kondisi tersebut. Padahal,
menurut Azyumardi Azra, kebangkitan konservatisme agama tidak hanya terjadi di
kalangan umat Islam saja, tapi juga melanda hampir semua agama. Dengan
meningkatnya konservatisme agama, muncul gejala penganut agama yang merasa
telah terlahirkan kembali, seperti fenomena “born again Christians.”
Sejalan dengan
datangnya era Post-Secularism, para penganut agama merasa lahir kembali dalam
agamanya masing-masing, dan telah mengalami ‘turning point.’ Gejala ini pun
berimplikasi pada aspek kehidupan yang lebih luas: sosial budaya, ekonomi, dan
politik. Konservatisme agama menolak pemahaman, penafsiran, dan pembaruan
pemikiran dan praksis keagamaan berdasarkan perkembangan modern tertentu. Namun
secara global, kebangkitan konservatisme agama juga merupakan respon atas berbagai
pengalaman buruk yang terus dihadapi oleh umat manusia pada umumnya, seperti
kesulitan ekonomi, krisis politik, melemahnya tatanan sosial, dan tidak adanya
jaminan keamanan secara adil. Maka muncullah politik identitas yang sangat
kental bernuansa agama. Azra menambahkan bahwa fenomena ‘conservative turn’ ini
pada dasarnya merupakan bagian integral dari dinamika Islam Indonesia secara
keseluruhan, khususnya sejak era 1970-an. Dinamika itu sering disebut sebagai
terus meningkatnya perluasan budaya santri, yang oleh Ricklefs (khususnya di
Jawa) juga disebut proses ‘Islamisasi.’ Proses itu masih terus berlanjut sejak
lebih dari enam abad yang lalu, dan masih akan terus berlangsung di masa-masa
mendatang. Maka pertanyaannya: bagaimana proyek integrasi keilmuan di PTKI
merespons dinamika tersebut?
Kita telah
dengan susah payah berjuang untuk perluasan budaya santri dengan menarik kaum
abangan agar lebih dekat dengan Islam. Sejauh ini kaum abangan yang jumahnya
cukup besar itu sekedar mengaku Islam tetapi belum mau menjalankan ibadah
dengan baik, belum mau mempelajari agama dengan tekun, dan merasa belum akrab
dengan simbol-simbol agama. Untuk memperluas jangkauan budaya santri ini keberadaan
PTKI menjadi alternatif terbaik bagi kelompok abangan ini untuk menimba ilmu
agama secara lebih mendalam, di samping untuk memperbaiki nasib. Performa PTKI
yang terus berbenah diri, baik secara fisik maupun manajemen kelembagaan, telah
membuka peluang bagi kelompok abangan ini untuk semakin dekat dengan Islam yang
ditampilkan secara moderat di lingkungan PTKI. Apalagi sejauh ini kajian
ilmu-ilmu agama di PTKI telah diajarkan bersamaan dengan ilmu-ilmu umum,
walaupun masih secara terbatas.
***
Sampai saat ini
proyek integrasi ilmu di PTKI masih terus berproses, belum final, belum
ditemukan bentuk yang paling ideal. Namun, perubahan dan pergeseran yang pernah
terjadi di masa lalu mungkin saja berulang. Atau akan terjadi perubahan dalam
bentuk yang lain. Jika kita ikuti
adagium l’histoire se repete, bahwa sejarah akan berulang, kemungkinan
paling dekat ialah masuknya kembali persaingan ideologis ke dalam sistem
pendidikan di PTKI. Indikator ke arah itu bukan tidak ada: kembalinya
persaingan ideologis di pentas nasional seperti tercermin dalam kiprah
partai-partai politik dewasa ini cukup memengaruhi dinamika internal kampus dan
budaya akademiknya. Mungkin hal ini dapat dibaca sebagai konsekwensi wajar dari
sebuah mekanisme politik yang didasarkan pada sistem perwakilan. Pertanyaannya,
sejauh mana perubahan ini berdampak terhadap pengelolaan PTKI? Tentunya kita
berharap tarik menarik antara kepentingan ideologis atau politis tidak merembes
ke domain akademis PTKI, apalagi jika ditilik betapa sulitnya menegakkan
semangat keilmuan di tubuh PTKI saat ini.
Karena itu,
perubahan apa pun yang berlangsung, sebaiknya kita tetap mempertahankan
independensi dan kenetralan berbasis akademik yang telah dibangun di lingkungan
PTKI sampai saat ini. Dengan keterbatasan yang ada, PTKI pernah menjadi
satu-satunya alternatif bagi sebagian besar umat Islam untuk bisa masuk dalam
arus modernitas. Kita sangat berhutang budi pada Prof. Amin Abdullah dan
tokoh-tokoh lain yang telah berhasil merumuskan bangunan epistemologi untuk
integrasi keilmuan di PTKI, sekaligus menjadi pionir transformasi PTKI dari
IAIN menjadi UIN. Namun, seperti apa wujud nyata dari implementasi integrasi
keilmuan ini yang bisa kita jadikan contoh ideal? Juga: seperti apa outcome
sesungguhnya dari integrasi keilmuan? Serta apa parameter keberhasilan
implementasi dari bangunan epistemologi yang dikembangkan dalam integrasi
keilmuan ini? Inilah kiranya beberapa persoalan yang perlu dijabarkan lebih
lanjut untuk menjadikan bangunan integrasi keilmuan ini lebih membumi, bisa diaplikasikan
secara tepat, dan dapat diketahui tingkat keberhasilannya.
Secara
epistemologis, masalah integrasi keilmuan ini memang masih perlu pengembangan,
pengayaan dan penyempurnaan. Namun semangat yang dibangun sejak lebih dari 20
tahun silam ini bukan tanpa hasil signifikan. Dengan pendekatan unintended
consequences ternyata kita telah merasakan hasil yang sangat luar biasa. Peran
ilmuan Muslim di Tanah Air tidak berhenti pada keahlian akademik atau
spesifikasi keilmuan yang digeluti secara sempit. Mereka yang berbasis keilmuan
umum/sekuler tampak semakin dekat dengan ilmu-ilmu keagamaan. Sebaliknya,
mereka yang menggeluti basis keilmuan agama juga semakin akrab dengan
teori-teori keilmuan sekuler guna menambah wawasan akademinya. Mereka yang
bergelut di kedua kelompok disiplin keilmuan ini sudah saling menyeberangi dan melintasi
batas keahlian dasar yang menjadi tanggung jawab akademiknya.
Sekedar contoh,
kita mengenal tokoh-tokoh penting seperti M. Amien Rais, Ahmad Syafi’i Ma’arif,
Imaduddin Abdurrahim, Muhammad Nuh, untuk menyebut sedikit contoh. Mereka adalah
para ahli di bidang keilmuan sekuler dan mengembangkan karier akademik di
perguruan tinggi umum. Namun mereka sangat dikenal sebagai tokoh yang banyak
berperan dalam pengembangan kehidupan beragama dan dalam penguatan organisasi
keagamaan yang sangat berpengaruh di Tanah Air. Amien Rais dan Syafii Maarif,
misalnya, adalah dua tokoh ilmuan Jogjakarta jebolan University of Chicago yang
menjadi Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Sedangkan Imaduddin Abdurrahim
sebagai seorang ilmuan Teknik Elektro ITB di Bandung, juga dikenal sebagai salah
seorang penggagas berdidinya Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) dan
Bank Muamalat Indonesia. Dia juga dikenal sebagai pendiri Masjid Salman di
Kampus ITB, dan sangat aktif mengembangkan kajian-kajian keislaman yang banyak diminiati
di kampus teknik terbesar di Indonesia tersebut. Adapun Muhammad Nuh, selain
pernah menjadi rektor ITS Surabaya dan Menteri Pendidikan Nasional RI juga
menjadi Ketua Umum Pengurus Badan Wakaf Indonesia (BWI) Pusat. Sebelumnya dia
juga pernah menjabat sebagai Ketua Umum ICMI Orwil Jawa Timur. Ternyata para
cendekiawan yang bergelar professor doktor ini sudah cukup jauh menyeberang ke
wilayah di luar keahlian pokok mereka. Dengan menyandang status seperti itu
mereka memiliki kapasitas untuk melakukan tugas dakwah dan menyampaikan
pandangan keagamaan yang autoritatif terlepas dari latar belakang pendidikan
formal masing-masing. Ini tentu harus diakui sebagai hasil tidak langsung (unintended)
dari integrasi keilmuan, meskipun para tokoh ini secara epistemologis mungkin tidak
pernah dibentuk dalam instrumentasi integrasi ilmu-ilmu keislaman.
Sementara itu,
mereka yang berbasis keilmuan agama juga tidak mau ketinggalan. Tidak sedikit
para ilmuan yang berasal dari lingkungan PTKI kemudian mampu mengembangkan diri
ke luar basis keilmuannya, menyeberang ke “dunia asing.” Cukup banyak tokoh
yang dapat kita jadikan contoh dalam konteks ini. Salah seorang di antaranya ialah
Azyumardi Azra. Dia adalah alumni Fakultas Tarbiyah IAIN (sekarang UIN)
Jakarta. Namun ternyata dia telah menyeberang jauh, melintasi batas-batas basis
keilmuannya. Dia pun tidak hanya dipakai di lingkungan kampusnya saja (sebagai
rektor UIN Jakarta pertama) atau dipandang hanya sebagi seorang ahli agama. Perannya
dalam kehidupan akademik di luar ilmu keislaman bahkan sudah sangat diakui,
bukan saja di Tanah Air, tetapi juga di luar negeri. Pada tahun 2010 dia
memperoleh gelar kehormatan Commander of the Order of British Empire (CBE) dari
Kerajaan Inggris, dan dengan demikian dia berhak menyandang gelar “sir.” Dia
juga memperoleh penghargaan serupa dari kekaisaran Jepang, yaitu Order of the
Rising Sun: Gold Silver Star (2017). Meskipun dia “hanya” alumni IAIN ternyata
di akhir hayatnya dia diangkat menjadi Ketua Dewan Pers, periode 2022-2025.
Sayangnya, belum genap satu tahun dia mengemban tugas terakhir ini Azyumardi
Azra sudah dipanggil oleh Tuhan Yang Maha Esa pada usia 67 tahun, September
2022.
Selain
Azyumardi Azra, sosok penting yang layak di jadikan contoh dalam konteks ini
ialah Burhanuddin Muhtadi, guru besar Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UIN
Jakarta. Meskipun latar belakang keilmuan dasarnya (S1) adalah di Fakultas
Ushuluddin, ternyata dia mampu melompati Batasan keilmuan agama tersebut dan
menyeberang ke bidang lain yang amat jauh berbeda. Burhanuddin Muhtadi bukan
hanya aktif sebagai dosen di dalam kampusnya, tetapi juga banyak beraktivitas
di luar kampus sebagai peneliti dan narasumber dalam berbagai forum. Dia juga
dikenal sebagai Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia. Di samping itu
dia juga menjabat sebagai Direktur Public Affairs pada Lembaga Survey Indonesia
(LSI). Sebagai peneliti Burhanuddin Muhtadi juga dikenal sebagai analis atau
pengamat politik yang muncul di berbagai media. Dia sering diminta menjadi narasumber
oleh berbagai media cetak maupun televisi untuk membahas masalah-masalah sosial
politik kontemporer. Dia juga mendapat banyak penghargaan atas berbagai prestasi,
seperti Charta Politika Award untuk analis politik terbaik, Young Southeast
Asia Fellow Award, dan Indonesian Platinum and Best Corporate Award. Pandangan
akademiknya tidak lagi hanya sebatas wacana ilmu-ilmu keagamaan, tetapi justru
lebih kuat di bidang politik dan sosial. Hal itu dapat kita lihat dari
karya-karyanya yang dihasilkan secara produktif. Disertasinya di Australian
National University di Canberra (2018) diterbitkan dengan judul Vote Buying
in Indonesia: The Mechanics of Electoral Bribery (Palgrave McMillan, 2019).
Karya besar ini sudah menunjukkan pergeseran wacana keilmuannya dari keislaman murni
ke politik. Oleh karenanya dia tidak lagi dikenal sebagai ilmuan agama tetapi
lebih tekun dengan kajian politik kontemporer. Apa makna ini semua? Di satu
sisi mungkin ini bisa dibaca sebagai kekhawatiran akan tergerusnya wacana
keislaman murni dari PTKI, seperti ditulis oleh Lukens-Bull. Di sisi lain, ini
merupakan buah dari integrasi keilmuan yang tidak direncanakan (unintended),
baik dalam arti positif maupun sebaliknya.
Tentu tidak
hanya dua orang ini saja dari dosen-dosen di lingkungan PTKI yang harus diakui
sebagai ilmuan yang berhasil menyeberangi batas. Kita semua juga tahu bahwa
kedua tokoh ini bisa “bermanuver” dengan kapasitas intelektualnya di luar
habitat asli keilmuan mereka karena ditunjang oleh pendidikan lanjut di luar
negeri. Hal ini tentu tidak perlu dipermasalahkan. Tetapi bagaimana kita memaknainya?
Selama lebih kurang 40 tahun terakhir Kementerian Agama RI telah banyak
mengirimkan dosen-dosen muda PTKI untuk melanjutkan studi S2 dan S3 ke luar
negeri, baik ke Timur Tengah maupun ke negara Barat. Mereka dipaksa beradaptasi
dengan sistem pendidikan di negara-negara maju di Eropa, Amerika, Australia,
Turki, dan negara-negara lain. Meskipun mereka hanya berbekal ilmu dasar dari
IAIN waktu itu, dengan diperkuat kecakapan berbahasa Inggris atau Arabnya,
ternyata mereka tidak banyak mengalami kesulitan untuk mengikuti perkuliahan di
negara-negara maju tersebut. Mereka pun menyebar di berbagai disiplin ilmu,
tidak mesti linear dengan disiplin ilmu sebelumnya. Pengalaman ditempa dengan
model pembelajaran yang berat disertai keharusan mampu beradaptasi dengan
sistem budaya yang asing ternyata telah membuat mereka lebih sigap menghadapi
tantangan hidup. Namun yang lebih bermakna dari itu ialah keluasan cara pandang
mereka dengan cabang-cabang ilmu baru yang mungkin tidak bisa diraih ketika
mereka belajar di dalam negeri. Maka, dengan melihat contoh kedua tokoh
terakhir, tidak mengherankan jika mereka akhirnya mampu mengalami
lompatan-lompatan pencapaian akademik dan intelektual yang brilian. Pengalaman
studi di negara maju membuat mereka lebih siap untuk mengembang dan melintasi
batas-batas tradisonal dari bidang keilmuan yang digeluti sebelumnya. Sekembalinya
ke tanah air, mereka, bersama sejumlah besar dosen-dosen alumni luar negeri lainnya,
telah siap untuk mengawal perubahan dan pembaruan iklim akademik di lingkungan
PTKI. Dalam konteks ini, proyek integrasi keilmuan akan lebih mudah
dikonsepsikan dan diimplementasikan dalam proses pembelajaran.
Di luar
kemunculan para tokoh yang disebutkan di atas, dewasa ini kita tengah
menyaksikan fenomena tampilnya para intelektual Muslim organik yang berperan
banyak dalam pembangunan masyarakat. Mereka tidak berhenti menjadi intelektual murni
yang tinggal di menara gading kampusnya, tetapi bersedia terjun ke tengah masyarakat,
melibatkan diri dalam berbagai aktivitas sosial, menyatu dengan dinamika
kehidupan riil warga sekitarnya. Ini sangat berbeda dengan kehidupan para
intelektual di Barat yang cenderung elitis dan hanya fokus pada profesi
akademiknya, kurang peduli dengan kehidupan sosial di lingkungan sekitarnya. Peran
para intelektual organik ini sungguh sangat penting dalam memajukan kehidupan
masyarakatnya. Tidak sedikit dari mereka yang terjun langsung di dalam
organisasi kemasyarakatan, menduduki jabatan pimpinan atau sekedar menjadi
anggota aktif, mengisi ceramah-ceramah keagamaan dari level paling bawah di
tingkat kampung sampai ke level tertinggi tingkat nasional. Ini barangkali
fenomena yang tak terpikirkan terkait dengan unintended consequences
tersebut. Jadi integrasi keilmuan itu tidak hanya perlu dikaji secara
epistemologis untuk kepentingan kelangsungan dan perkembangan PTKI semata,
tetapi juga berdampak luas pada kehidupan sosial kemasyarakatan. Dan hal
terakhir itu dalam sistem kelembagaan PTKI kita mendapatkan wadahnya dalam
domain pengabdian masyarakat.
***
Pada akhirnya,
integrasi adalah sikap, pandangan dan internalisasi nilai-nilai keilmuan secara
lintas disiplin dan holistik. Atau, lebih tepatnya bisa disebut sebagai proses
aksiologisasi akademik dari satu bidang ilmu yang sempit untuk dikembangkan
dalam spektrum lebih luas demi kemanfaatan yang lebih besar. Maka orang bisa
berangkat dari keilmuan agama untuk mengembang ke bidang keilmuan umum, atau
sebaliknya. Inilah fenomena yang dapat kita lihat sejak awal abad kedua-puluh
yang silam, saat para tokoh pembaru begitu gusar dan gelisah melihat betapa
keterpurukan umat Islam di negeri ini telah membelenggu kehidupan mereka. Untuk
itu harus ada upaya yang kongkrit untuk mengentaskan umat Islam dari kondisi
yang sangat tidak menguntungkan tersebut. Salah satu cara ialah dengan
mengembangkan Pendidikan Islam yang tertutup dari kemajuan ilmu pengetahuan
umum dan teknologi, menuju keterbukaan dan kesiapan mengintegrasikan ilmu agama
dan umum, menghapus dikotomi keilmuan.
Tulisan ini
diberi judul “Unintended Consequences: Pembacaan Lini Bawah Proyek Integrasi
Ilmu di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI),” dengan maksud untuk
memberikan catatan bahwa ada sesuatu yang sejauh ini tak tersentuh dalam kajian
terkait dengan integrasi ilmu. Apa yang ramai dikaji dalam forum-forum ilmiah
terkait dengan topik integrasi ilmu seolah melupakan sisi empirik-fenomenal
yang telah berlangsung selama satu abad lebih di negeri kita. Di awal abad
ke-20 umat Islam berjuang keras agar mereka bisa bergeser atau melakukan
mobilitas horizontal dari posisi marginal dalam percaturan sosial budaya ke
posisi tengah, untuk pada saatnya menuju ke posisi puncak secara vertikal.
Tampaknya pengembangan keilmuan melalui lembaga pendidikan menjadi alternatif
paling strategis. Perbaikan kualitas hidup melalui dunia pendidikan merupakan
investasi jangka panjang yang harus dilakukan secara bertahap dan terencana. Maka
dimulailah langkah itu dengan memperkaya kurikulum lembaga pendidikan agama
kita dengan ilmu-ilmu umum, dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi.
Pembacaan arus
bawah ini tidak boleh dilupakan. Walaupun sudah berlangsung satu abad lebih,
ternyata arus bawah itu masih cukup kuat mewarnai kehidupan akademik dan sosial
budaya di dalam dan di luar kampus. Apa yang menjadi penyebabya? Bisa jadi karena
didukung oleh banyak faktor, di antaranya: (1) warisan semangat modernisasi dari
era munculnya gerakan pembaruan di awal abad ke-20; (2) saling mendekatnya (rapprochement)
antara kelompok tradisonalis dan modernis, sehingga jarak budaya antara
keduanya semakin menipis; (3) adanya pembaruan dan liberalisasi pemikiran
keagamaan, dan (4) tidak kalah penting, ialah pembaruan sistem dan manajemen pembelajaran
di PTKI. Jadi PTKI dalam hal ini tidak bekerja sendirian.
Comments
Post a Comment