TEOLOGI MURJIAH DAN MODERASI AGAMA/Fauzan Saleh

 

 

 

Fauzan Saleh

(Guru Besar IAIN Kediri)

 

Dunia hari ini tengah menyaksikan adanya pergeseran budaya yang fenomenal di Saudi Arabia. Atas desakan Pangeran Muhammad bin Salman (MBS), Saudi Arabia tengah bergeser dari ideologi Wahabi lama yang konservatif menuju ideologi Wahabi baru yang lebih moderat dan terbuka. Wahabi baru adalah ideologi baru di Arab Saudi yang diusung MBS dalam bentuk Islam moderat, modern, dan rasional. Ideologi ini merupakan antitesa Wahabi lama yang menjadi ideologi Arab Saudi sejak berdirinya kerajaan itu, 1744. Ajaran Wahabi mencirikan diri sebagai ideologi unitarian atau muwahhidin, suatu pandangan yang menekankan pada keesaan mutlak Tuhan atau kemurnian tauhid. Demi kemurnian tauhid ini maka mereka menolak semua bentuk tindakan yang dipandang mengarah pada atau mengandung elemen kemusyrikan.

MBS dan pejabat tinggi kerajaan lainnya memang tidak pernah terang-terangan menyatakan lepas dari Wahabi sebagi ideologi negara. Artinya, MBS tetap berpegang teguh pada ideologi Wahabi tetapi dengan perspektif baru yang moderat dan rasional. Bagi MBS, mengusung ideologi Wahabi baru merupakan keniscayaan demi mulusnya Visi Arab Saudi 2030. Ideologi Wahabi dengan perspektif baru ini dimaksudkan untuk menggantikan model ideologi lama yang kaku, tertutup, dan dipandang membelenggu Arab Saudi selama ini. Pergeseran ini tentu tidak lepas dari gencarnya pemberitaan tentang upaya-upaya revolusioner untuk merombak sistem ekonomi dan sosial budaya yang lebih menjanjikan bagi kelangsungan eksistensi Arab Saudi sebagai salah satu negara kuat yang harus diperhitungkan perannya di kawasan.

Visi Arab Saudi 2030 ini semula dirancang untuk reformasi ekonomi dengan cara melakukan diversifikasi sumber-sumber ekonomi, tidak lagi hanya mengandalkan minyak bumi. Minyak bumi yang telah dieksplorasi sejak tahun 1930-an itu kini tidak dapat lagi diandalkan untuk kelangsungan negeri itu. Surutnya peran minyak bumi sebagai penopang utama ekonomi Arab Saudi kini telah dihadapkan pada titik balik yang cukup kritis dan menuntut transformasi secara radikal. Tidak heran jika visi itu kini telah berdampak pada perubahan pola kehidupan yang sangat spektakuler, baik di bidang sosial-budaya, politik dan pandangan keagamaan yang dianut warganya. Salah satu contoh yang cukup mengguncang di bidang kreasi budaya ialah diperbolehkannya para seniman Arab Saudi membuat patung yang dulu tentu sangat diharamkan. Para seniman Arab Saudi kini sudah berani unjuk gigi memamerkan patung-patung karya mereka seiring dengan dilonggarkannya larangan berkreasi seni di negeri itu.

Demikian pula dengan kelonggaran yang diberikan dalam seni pertunjukan. Pemerintah Arab Saudi di bawah MBS sebagai pengauasa de facto saat ini telah mengizinkan diselenggarakannya konser atau pertunjukan musik di tempat terbuka, dengan penonton bercampur antara laki-laki dan perempuan. Pada bulan Desember 2021, ketika Arab Saudi memasuki musim dingin, berita hangat tentang konser musik bertema MDLBeast Soundstorm 2021 menghiasi media massa setempat. Konser musik ini meraih sukses besar dengan menyedot sekitar 700.000 penonton, dimeriahkan oleh para musisi kelas dunia, termasuk yang berasal dari Mesir dan Lebanon Sebelumnya juga sudah digelar Formula 1 di sirkuit jalan raya Jeddah Corniche. Juga, Festival Film Internasional Laut Merah, yang digelar 6-15 Desember 2021. Di tangan MBS, dunia akan menjadi saksi perubahan Arab Saudi dari negara ultrakonservatif menjadi negara moderat. Perubahan besar itu semakin menggema ketika Pangeran Mohammad bin Salman begitu sering mengutarakan visi 2030 yang digagasnya dalam setiap kunjungannya ke luar negeri.

Sebagai motor perubahan melalui visi Arab Saudi 2030, MBS, sosok pangeran kelahiran 31 Agustus 1985 itu ingin meyakinkan dunia bahwa Arab Saudi sudah berubah menjadi negara yang moderat. Dia ditunjuk menjadi putra mahkota Kerajaan Arab Saudi sejak bulan Juni 2017. Dengan berbagai jabatan politik yang menjadi kewenangannya, MBS berambisi untuk menjadikan Arab Saudi sebagai negara yang lebih terbuka terhadap perbedaan nilai-nilai budaya dengan mengusung pandangan keagamaan yang tidak lagi ekskulisf. Dia juga sangat tegas untuk bisa memberantas korupsi yang sejauh ini telah banyak memengaruhi kredibiltas pemerintahannya. Hal itu termasuk yang dia terapkan pada sebagian anggota Kerajaan sendiri, seorang mega milyuner, Pangeran al-Waleed Bin Talal. Memang banyak kritik ditujukan pada MBS terkait dengan kebijakan tegas dalam pemberantasan kurupsi ini. Kebijakan itu tidak lebih dari sekedar upaya untuk mengamankan kekuasaan di tangannya sendiri. Namun dengan ketegasan itu pemerintah Arab Saudi sudah berhasil mengamankan lebih dari $ 100 miliar uang negara dari pihak yang dituduh melakukan korupsi tersebut. Di samping itu, sebagai seorang reformis, MBS juga tidak bisa menghindar dari berbagai tantangan yang bersumber dari kalangan konservatif yang merasa sangat kecewa dengan kebijakan-kebijakannya.

Visi 2030 ini memiliki tiga pilar utama: Pertama, menjadikan Arab Saudi sebagai jantung dunia Arab dan Islam. Kedua, determinasi sebagai kekuatan investasi global, dan ketiga, mengubah Arab Saudi sebagai perantara bagi tiga benua yakni, Asia, Eropa dan Afrika. Pada akhir dekade ini Arab Saudi ingin mewujudkan tiga pilar visi 2030 tersebut dengan tujuan untuk menciptakan perekonomian yang tidak lagi tergantung pada minyak, meningkatkan taraf hidup hampir 4o juta penduduknya, dan mempertahankan posisinya di peringkat teratas panggung global.       

Perubahan-perubahan besar yang terjadi di Arab Saudi justru sangat kontras dengan yang berlangsung di Afghanistan. Sejak kelompok Taliban berhasil menguasai kembali kendali pemerintahan sukses mengusir dan mengakhiri dominasi Amerika, mereka berambisi untuk menerapkan ideologi Islam konservatif seperti pada era sebelumnya. Ideologi Islam konservatif yang ingin diimplementasikan mengacu pada doktrin Islam murni dengan mengabaikan elemen-elemen budaya lokal yang sebelumnya sudah cukup kuat mengakar dan ikut mewarnai pandangan keagamaan masyarakatnya. Kebijakan konservatif itu diterapkan secara kaku dan ekstrim, dengan mengabaikan kepentingan-kepentingan mendesak yang dihadapi rakyat Afghanistan dalam berbagai bidang. Afghanistan yang terbelakang telah kehilangan kesempatan selama dua generasi untuk membangun dirinya dari luka-luka perang. Tampaknya, mengacu pada pengalaman sebelumnya, Afganistan lebih membutuhkan persatuan nasional di bawah ideologi modern yang menjamin hak kelompok minoritas yang lama ditindas kelompok Pashtun dan Taliban.

Di sisi lain, Indonesia sebagai negara dengan sistem demokrasi dengan mayoritas penduduk Muslim di tengah beragamnya suku bangsa dapat menjadi contoh Islam jalan tengah yang toleran, inklusif, adil dan seimbang, berada di tengah. Islam yang telah mengakar begitu kuat dalam tradisi kehidudan bangsa Indonesia telah ikut mewarnai perkembangan corak budaya dan sistem sosial yang terus berkembang hingga saat ini. Perkembangan ini tidak lepas dari proses masuknya Islam ke Indonesia yang berlangsung tahap demi tahap, namun berjalan secara damai, tanpa konflik dan pertentangan dengan tradisi yang sudah berkembang sebelumnya. Sudah selayaknya, menurut seorang pengamat, jika Taliban tertarik untuk bisa meniru pengalaman Indonesia dalam mengatasi sejumlah konflik etnis dan suku di negerinya demi terwujudnya stabilitas politik dan persatuan nasional mereka (Ninuk Pambudi, Kompas, 14 September 2021).

Proses islamisasi di bumi Nusantara berjalan sangat lambat dan memakan waktu amat lama. Tantangan yang harus dihadapi juga cukup berat untuk bisa sampai pada tahapan seperti saat ini. Pertama, Islam pertama kali datang dalam keadaan lemah dari segi militer, ekonomi maupun politik, namun harus berhadapan dengan kekuatan Hindu-Buda dan Animisme yang sangat dominan. Kedua, sebelum Islam benar-benar mampu menanamkan pengaruhnya secara kokoh, ia harus berhadapan dengan penjajahan bangsa Barat yang juga membawa misi Kristenisasi dan berusaha menjauhkan bangsa Indonesia dari ajaran Islam.

Namun Islam masih terus berkembang, beradaptasi dengan budaya lokal, mengakomodasi berbagai corak kearifan agar ajarannya bisa diterima oleh masyarakat. Basis pertahahan Islam dibangun di wilayah pedalaman dalam bentuk lembaga-lembaga pendidikan tradisonal, tanpa berkompromi dengan kepentingan kaum penjajah. Munculnya pesantren-pesantren di berbagai pelosok Tanah Air menjadi modal sosial, bukan saja untuk menjadi benteng pertahanan menghadapi kaum penjajah, tetapi juga untuk memperkuat budaya bangsa di kemudian hari. Proses ini telah menjadi alasan yang cukup kuat untuk menjadikan Islam sebagai bagian dari identitas bangsa, khususnya dalam menghadapi kaum penjajah. Menurut Jimly Assiddiqi: Islam pada era pra-kemerdekaan merupakan identitas kaum pribumi yang mampu mempersatukan seluruh elemen bangsa melawan penjajah. Sedangkan pasca-kemerdekaan menjadi bercorak ideologis, berhadapan dengan kalangan nasionalis sekuler.

Islam diperkenalkan dengan kelenturan karakternya sehingga agama ini bisa diterima secara gradual, bertahap, tanpa konflik yang tajam dengan kekuatan-kekuatan yang ada. Hal ini tidak lepas dari fakta bahwa Isam datang ke Nusantara bukan dengan kekuatan militer untuk melakukan penaklukan, seperti yang terjadi di Kawasan Timur Tengah sebelumnya. Islam menyebar secara damai degan mengikuti jalur perdagangan, bukan dengan jalan perang. Para pedagang dari Timur Tengah dalam melaksanakan profesinya tidak melupakan kewajiban agamanya, baik terkait dengan ritual maupun perilaku kesehariannya. Hal itu sangat menarik perhatian penduduk lokal. Masyarakat kemudian tertarik untuk mengetahui lebih jauh ajaran agama baru yang dipraktikkan oleh para pedagang pendatang itu. Para pedagang, untuk kepentingan bisnisnya, tentu tidak memiliki kepentingan untuk berkonflik dengan pihak mana pun. Perdagangan akan berkembang pesat jika berlangsung dalam suasana damai, jauh dari nuansa konflik. Di luar jalur pedagangan, Islam diperkenanlkan dengan pendekatan budaya, tanpa menonjolkan sisi doktrin secara kaku. Pendekatan budaya menjadi pilihan karena mengandung unsur kelenturan untuk bisa mengakomodasi suasana kebatinan warga yang masih kental pandangan animistiknya. Elemen ajaran Islam disisipkan dalam tembang dan syair atau wejangan-wejangan singkat tentang kehidupan yang positif, sesuai doktrin pokok Islam. Tanpa merasa dipaksa masyarakat akhirnya bisa menerima dan mengikuti pandangan keagamaan baru yang diperkenalkan oleh para wali, penyebar Islam pertama, khususnya di Tanah Jawa.

Walaupun karakter dasar doktrin Islam yang bersumber pada tauhid sangat kontras dengan pandangan keagamaan yang sudah lama mengakar dalam kehidupan masyarakat di Nusantara, ternyata Islam mampu terus menyebar dan berhasil menanamkan pengaruhnya secara kokoh, mendesak kekuatan budaya lama yang lebih dahulu diterima oleh masyarakat. Apa yang mendasarinya? Bisa jadi karena pengaruh sufisme yang kental, bisa pula karena pemikiran teologis yang menyertainya. Pada abad ke-14 dan 15 saat Islam mulai menyebar di Nusantara, Islam Sunni secara umum didominasi oleh tradisi sufisme, dipadu dengan pandangan teologi Murji’ah yang lentur, fleksibel, longgar, dan tidak rigid, seperti tercermin dalam paham Sunni-Asy’ariyah. Diakui atau tidak, paham Sunni-Asy’ariyah yang dianut di Indonesia masih cukup kental warna Murjiahnya. Hal itu dapat dilihat dari penyikapan mereka terhadap penyimpangan moral yang banyak terjadi dalam masyarakat. Penegakan hukum yang lemah, perilaku yang permisif, moral latitude dan pola kehidupan dengan soft morality dapat disebut sebagai indikator kentalnya warna Murji’ah dalam pola keberagamaan sebagian besar masyarakat kita.

Salah satu dampak negatif dari pandangan keagamaan berbasis paham Murjiah yang indecisive, serba menangguhkan keputusan moral, ialah sulitnya menegakkan prinsip high trust society. Hal ini karena setiap orang tidak memiliki otonomi moral yang tegas. Baik dan buruk bukan suatu ukuran yang dapat ditentukan secara otonom berdasarkan kesadaran moral, tetapi lebih karena adanya ketentuan yang berasal dari luar diri manusia secara heteronom. Sebagai konsekwensinya, manusia merasa kurang memiliki rasa tanggung jawab atas semua tindakan yang dilakukan dan kejadian yang dialami. Meskipun kajian moral pada masa awal Islam kaya dengan berbagai renungan filosofis (lihat al-Kindi, al-Razi, al- Farabi, Ibn Sina, Ibn Maskawaih), di sampng yang bernuansa rational ethics, tetapi dalam perkembangannya religious ethics dengan penekanan pada otoritas teks dan doktrin teologi menjadi lebih dominan. Karaketristik teologi Sunni-Asy’ariyah yang kental warna Murji’ah seperti diuraikan di atas perlu diberi arah baru guna mendorong terciptanya otonomi moral, antara lain dengan mempertimbangkan ulang prinsip rationalistic objectivism dan theistic subjectivism.

Dalam rationalistic objectivism, setiap tindakan memiliki nilai etisnya sendiri secara objektif. Baik dan buruk bukan ditentukan oleh adanya perintah atau larangan dari Tuhan, tetapi karena karakteristik dari perbuatan itu sendiri. Sekedar contoh, berbuat adil itu baik bukan karena adanya perintah dari Allah, tetapi karena adanya nilai kebaikan secara instrinsik dalam berbuat adil tersebut. Karena itulah maka Allah memerintahkan manusia untuk berbuat adil. Karena nilai baik dan buruk adalah suatu entitas obyektif, nilai-nilai itu tidak bisa berubah sekedar karena adanya keinginan, pernyataan atau pemikiran pihak luar. Karena itu pula maka manusia, sesuai dengan prnsip al-lutf yang memungkinkan adanya taklif dari Allah, harus mampu menemukan sendiri prinsip-prinsip baik-buruk dan nilai-nilai keutamaan atau kebajikan untuk dijadikan pedoman dalam perilaku hidupnya.

Sebaliknya, dalam theistic subjectivism, nilai baik-buruk ditentukan oleh adanya perintah dan larangan dari luar diri manusia, dalam hal ini Allah. Mengacu pada contoh di atas, dalam konteks theistic subjectivism, berbuat adil itu baik semata-mata karena adanya perintah dari Allah, bukan karena hakekat keadilan yang mengandung nilai-nilai kebaikan pada dirinya. Dengan demikian, seandainya Allah melarang manusia berbuat adil maka berbuat adil itu menjadi buruk semata-mata berdasarkan adanya larangan dari Allah. Sebagai konsekwensinya, manusia menjadi kurang memiliki otonomi untuk menentukan sendiri nilai-nilai baik-buruk dan makna kebajikan atau keutamaan. Ketentuan baik-buruk semuanya tergantung pada ada-tidaknya perintah atau larangan dari luar diri manusia. Manusia hanya bersikap pasif, tidak kreatif untuk menggali makna keutamaan sesuai dengan kapasitasnya sebagai makhluk rasional. Dia akan berhenti pada bunyi teks yang tersedia, tidak berani melangkah lebih jauh. Heteronomi moral mempunyai akar yang kuat dalam pandangan Sunni-Asyariyah yang bersumber dari doktrin Murjiah. Kita memang masih Murjiah. Di sini perlu redefinisi terhadap pandangan teologi umat Islam Indonesia jika mereka ingin berperan lebih konstruktif untuk memperbaiki keadaan dirinya dan bangsanya, sehingga martabat mereka dapat terangkat sejajar dengan bangsa- bangsa yang lebih maju.

Di alam demokrasi dan era multikultural dewasa ini sepertinya pandangan keagamaan yang terbuka dan toleran akan lebih mudah diterima daripada pandangan keagamaan yang rigid dan sempit. Ini terkandung makna bahwa kita harus bisa menerima keanekaragaman keyakinan dan tata nilai etis yang berakar pada berbagai macam budaya, seperti yang telah menjadi kehendak Allah dalam Q.S. 5:48.

Penganut paham eksklusivisme sering menganggap diri atau kelompoknya paling benar dan paling berhak mendapatkan surga. Di luar kelompok mereka adalah orang-orang sesat dan tidak akan memperoleh keselamatan. Lebih jelek lagi, ketika orang lain dianggap sesat maka ia harus diluruskan dan dipaksa mengakui kebenaran yang diyakini kelompok pemaksa. Jika tidak, mereka layak dihancurkan. Logika yang dibangun ialah orang yang tidak mau menerima kebenaran (versi mereka) adalah musuh kebenaran. Pemaksaan atas kebenaran ini sering dijadikan alasan untuk bisa mendapatkan pembenaran atas semua tindakan yang sebenarnya tidak lebih dari upaya pemenuhan ambisi subyektif pihak pemaksa.

Eksklusivisme keagamaan masih terus menjadi persoalan dalam konteks hubungan antar-umat beragama, termasuk di negeri kita. Sementara itu, meski kita sering mengeklaim sebagai pengusung demokrasi, multikulturalisme masih belum bisa diterima secara baik. Masih sering terjadi peristiwa-peristiwa pemaksaan kehendak dengan segala bentuk arogansinya yang sangat bertolak belakang dengan hakekat demokrasi dan makna multikulturalisme. Di sinilah tampaknya paham Murji’ah akan memiliki signifikansinya untuk memenuhi tuntutan multikulturalisme sebagai realisasi dari kehidupan yang demokratis. Hakekat pandangan Mur’jiah dengan kelenturan paham teologisnya mestinya memberi jalan yang mulus untuk menciptakan toleransi dan keharmonisan di tengah keragaman nilai sosial budaya dan perbedaan pandangan keagmaan tersebut.

Di sisi lain, kelenturan teologis Murji’ah (menunda, memberi harapan) ini pula kiranya yang membuat ajarannya mudah diserap dalam teologi Islam Sunni, sehingga mampu bertahan hingga dewasa ini. Namun, sekali lagi, kecenderungan itu bukan tanpa risiko yang harus ditanggung. Kelenturan teologis Murji’ah tersebut ternyata dibangun atas dasar soft morality atau moral laxity. Kedua istilah ini secara umum dapat diartikan sebagai moralitas lembek, cenderung permisif, dan tidak memiliki ketegasan dalam memberikan penilaian atas pelanggaran norma hukum atau perilaku jahat seseorang. Sesuai dengan konsep dasar yang terkandung dalam pandangan teologi Murji’ah tersebut, mestinya kelenturan karakter paham teologis itu akan mampu mewarnai secara signifikan dalam membangun hubungan harmonis di antara penganut keyakinan yang beraneka ragam. Jadi di sini tampak adanya inkonsistensi antara kelenturan pandangan teologis dan kecenderungan eksklusivisme golongan, terutama jika dikaitkan dengan berbagai peristiwa kekerasan atas nama agama belakangan ini.

Barangkali yang lebih menonjol ialah bahwa ketiadaan prinsip moral yang tegas sebagai cerminan dari paham Murji’ah ini membuat orang sulit mematuhi tatanan hukum positif atau tertib sosial dari hasil kesepakatan bersama. Lihat saja bagaimana orang semakin terbiasa menganggap remeh terhadap tertib berlalu lintas, cenderung abai terhadap hak-hak pribadi atau privasi seseorang, dan lain sebagainya. Bahkan ada sebagian orang yang cenderung tidak peduli dengan berbagai ketentuan yang mestinya dijunjung tinggi, sekalipun sumber hukum itu diambil dari firman Tuhan (Syariah). Ini semua mencerminka bagaimana orang begitu mudah terjebak pada fenomena theistic subjectivism yang menjadi pangkal heteronomi moral.

Memang kita membutuhkan teologi lentur yang inklusif. Dan itu adalah tawaran yang diberikan oleh teologi Murji’ah yang telah terserap dalam pandangan Islam Sunni. Maka dengan segala karakteristiknya, termasuk moralitas lembek (soft morality) yang jadi pangkal sulitnya membangun tatanan moral yang rigid guna meningkatkan daya saing umat, tampaknya memang kita masih Murjiah. Guna meminimalisir kecenderungan di atas, yang sangat kita perlukan saat ini ialah otonomi moral berdasarkan prinsip rationalistic objectivism. Dalam rationalistic objectivism, setiap tindakan memiliki nilai etisnya sendiri secara obyektif. Baik dan buruk bukan ditentukan oleh adanya perintah atau larangan semata, tetapi karena nilai-nilai instrinsik dari perbuatan itu sendiri. Hal itu akan mendorong manusia mau berpikir obyektif atas segala tindakan yang akan dilakukannya secara otonom, tanpa harus menunggu ketentuan yang berasal dari luar dirinya. Memang tidak mudah untuk merealisasikan prinsip ini, terutama ketika tingkat pendidikan masyarakat masih relatif rendah dan kemampuan berpikirnya masih terbatas. Namun itulah pentingnya berpikir tentang beberapa tawaran solusi untuk membenahi kondisi keterpurukan umat Islam yang kita alami selama ini.

Dasar pemikiran ini bisa mendorong pada otonomi moral untuk meningkatkan kepatuhan pada sistem hukum dan penegakan prinsip-prinsip etis secara konstruktif. Mengaca pada fenomena Taliban seperti telah diuraikan di awal tulisan dan realitas empirik yang berkembang di negeri kita, kita perlu mempertegas makna tawassut jalan tengah, dalam kehidupan beragama kita. Tawassut, dengan mengacu pada makna Surat al-Baqarah ayat 142 dihadapkan pada kontrasnya, yaitu al-ghuluw seperti dimaksudkan dalam ayat 77 Surat al-Maidah. Al-ghuluw bisa diartikan tatarruf atau ekstrimisme.

Ada seorang pengamat mengatakan bahwa para tokoh Islam tertipu oleh Barat dan agen-agennya di sini dengan mengembangkan wacana tentang Islam Moderat. Padahal, menurut dia, Barat mengembangkan istilah ini agar kaum Muslim tidak jadi pemimpin alias menjadi “pak turut,” membebek pada kepentingan Barat. Masih menurut pengamat tadi, tokoh-tokoh yang selalu mengaminkan dan mengampanyekan Islam Moderat, sebenarnya telah kehilangan jati dirinya. Mereka lebih mementingkan jabatan atau uang daripada kemuliaan agamanya. Lebih lanjut dia mengatakan bahwa ketika umat Islam dituntut menjadi moderat, pendidikan dan politik telah diarahkan agar kaum minoritas dididik menjadi radikal. Maka lihatlah siapa sebenarnya yang layak disebut radikal. Orang tidak pernah menyebut mereka yang dengan keras melawan syariat Islam dan tokoh-tokoh yang pro-Islam sebagai kelompok radikal.

Dengan terus-menerus menggaungkan wacana tentang Islam moderat, para pendukung gagasan ini berupaya agar umat Islam mereduksi ghirah Islamiyahnya dan bersekutu dengan kalangan non-Muslim untuk melemahkan Islam dari dalam. Karena mereka radikal dan punya cita-cita tinggi maka kini mereka menguasai negeri ini. Demikian antara lain pandangan pihak yang tidak bisa menerima gagasan tentang Islam moderat tersebut. Pandangan seperti ini tentu bukan tanpa argumentasi atau alasan yang bisa dibenarkan logika. Kita bisa saja menolak pandangan seperti itu dan menganggapnya sebagai hal yang tak perlu dipertimbangkan. Namun sebagai seorang Muslim terpelajar yang berkomitmen dengan doktrin agamanya, pandangan seperti itu selayaknya diangkat sebagai wacana akademik yang perlu ditelaah secara obyektif dan berimbang. Di alam demokrasi kita sudah terbiasa dengan perbedaan pandangan dan paham yang menuntut setiap warga negara untuk saling menghargai dan menghormati pemikiran orang lain. Justru di sinilah prinsip moderasi bisa dijadikan landasan yang kokoh bagi bangunan bangsa yang semakin maju berdasarkan nilai-nialai peradaban yang unggul.

Di sisi yang lain, mungkin kita bisa berapologi bahwa menerima Islam moderat bukan berarti harus mengurangi ketaatan kita dalam menjalankan perintah agama. Almarhum Prof. Nurcholish Madjid (1998) menegaskan bahwa agar umat Islam bisa mengimplementasikan ajaran Islam secara tepat maka mereka harus mendapatkan pemahaman yang benar tentang doktrin agamanya, dan memiliki pemahaman yang tepat pula tentang lingkungan di mana mereka akan menerapkan ajaran itu di Indonesia. Cak Nur memformulasikan gagasannya dengan sebutan “Islam kultural,” yaitu agama yang mampu berperan sebagai sumber nilai dan pedoman perilaku etika dan budaya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Umat Islam, sebagai bagian terbesar dari bangsa Indonesia, harus aktif mengambil peran dalam proses transformasi sosial-budaya, sejalan dengan proses modernisasi. Ketika semangat keagamaan juga tumbuh sejalan dengan proses modernisasi, maka pendekatan ilmiah dan empiris sangat diperlukan untuk reinterpretasi pesan-pesan universal Islam bagi kemaslahatan bangsa yang lebih luas. Selain sebutan “Islam kultural” gagasan Cak Nur juga sering disebut dengan “Islam substansialis” sebagai lawan dari Islam skripturalis. Islam skripturalis memiliki karakter umum sebagai Islam yang rigid, kaku, mendasarkan pemikiran dan tindakan sesuai bunyi teks semata, tanpa melihat konteks sosial budaya. Sejalan dengan Islam kultural, kebangkitan gerakan ini telah ditandai oleh adanya kreativitas besar dalam era Islam Indonesia modern.

Sebagai sebuah ide dan pendekatan, pendukung Islam substansialis cukup menjanjikan bagi upaya merevitalisasi kehidupan umat Islam. Selain merupakan upaya untuk membangun toleransi dengan umat beragama lain, kelompok ini juga lebih terbuka terhadap berbagai keragaman budaya demi terwujudnya persatuan bangsa yang lebih universal. Pemikiran Cak Nur tentang Islam kultural atau Islam substansialis telah mendorong perkembangan Islam secara lebih progresif dan telah menciptakan lingkungan yang kondusif bagi bangkitnya citra baru tentang Islam di Tanah Air, terutama sejak dua dekade terakhir abad ke-20 yang lalu.

Dengan menekankan kekuatan Islam kultural ini, sejalan dengan semakin meningkatnya kesalehan para penganutnya, cita-cita untuk mewujudkan Islam yang lebih simpatik dan substantif akan dapat terealisasi dengan lebih mudah. Harapannya, dengan mengusung kekuatan Islam kultural ini Islam akan lebih mampu memainkan peranannya secara signifikan di dunia modern. Sebagai sumber nilai moral dan etos sosial yang dinamis, Islam kultural akan lebih mudah diterima oleh berbagai kalangan yang lebih luas. Hal lebih penting lagi ialah kekuatan Islam kultural ini dipandang telah berhasil membebaskan umat Islam dari trauma sejarah pada era sebelum tahun 1980-an, saat posisi umat Islam di negeri ini selalu dicurigai sebagai pihak yang eksklusif, tidak bersedia berintegrasi dengan elemen bangsa lainnya.

Kita beruntung telah menerima Islam sebagai suatu kebenaran untuk membimbing kehidupan kita guna memperoleh keselamatan di dunia dan akhirat. Meski kita tinggal jauh dari pusat penyebaran awal agama Islam dan hidup di masa yang amat jauh dari era Nabi Muhammad SAW, kita dituntut untuk terus berusaha menjalankan ajaran agama ini sesuai dengan tuntunan dasar yang telah diberikan oleh Allah dan Rasul-Nya. Dalam kondisi dan berada di bumi mana pun umat Islam dituntut untuk bisa menjalankan doktrin agamanya secara kaffah, menyeluruh, tanpa harus kehilangan akar budaya yang melingkupinya.

Oleh karena itu, meski latar belakang budaya dan tradisi kita sangat berbeda dengan masyarakat Arab yang menerima ajaran Ilahi ini untuk pertama kalinya, kita tidak terlalu sulit menerima Islam dan mendalaminya secara serius. Perjalanan Sejarah yang dilalui bangsa ini membuktikan bahwa Islam telah diterima secara luas oleh sebagian besar bangsa Indonesia dan berperan penting dalam ikut serta membangun sistem budaya, nomenklatur politik dan hukum, serta menanamkan nilai-nilai sosial yang konstruktif. Dengan kemampuan beradaptasi dengan budaya yang telah lebih dahulu berkembang, umat Islam di negeri ini tidak banyak mengalami kesulitan untuk bisa melaksanakan ajaran agamanya sesuai contoh yang diberikan oleh Nabi Muhammad SAW. Ketaatan dalam mengamalkan ajaran agama ini tidak harus disertai rasa takut untuk disebut sebagai ekstremis, fundamentalis, atau radikal. Undang Undang Dasar negara kita menjamin kebebasan setiap individu warga negara untuk bisa menjalankan perintah agamanya dengan baik. Hal ini tidak berarti bahwa umat Islam di negeri ini tidak pernah mengalami berbagai hambatan dan tantangan dalam upaya untuk menjadikan ajaran Islam sebagai pedoman perilaku sehari-hari dan sebagai sumber nilai dalam menjalankan peran sosial-budaya, ekonomi, dan politiknya.

Sejatinya ketika sampai ke sebuah negeri, Islam datang bukan untuk merubah semua budaya dan kultur maupun karakter sosial warganya. Tetapi Islam datang untuk menyempurnakan nilai-nilai dasar universal itu. Realitas ini yang menjadikan Islam ketika bersentuhan dengan kultur dan budaya baru maupun identitas sosial lain menjadi sangat beragam. Sedangkan iman, ibadah-ritual, dan dasar-dasar akhlak bersifat universal. Di dalam keanekaragaman manifestasi budaya, mereka tetap bersatu dalam hal keimanan dan pelaksanaan ritual pokok. Memang Islam kita belum sempurna. Namun bukan berarti kita boleh mencampuradukkan tradisi-tradisi luar Islam secara bebas atau liberal. Kebenaran agama yang kita yakini harus menjadi filter atau penyaring tradisi mana yang dapat dijalankan dan mana yang harus ditinggalkan.

 

 

Kediri, September 2023

Comments

Popular posts from this blog

Pembacaan Lini Bawan Integrasi Keilmuan PTKI/Fauzan Saleh

AGAMA ITU MENYENTUH RASA

MENGAPA BUMI, MENGAPA MATAHARI? Oleh Fauzan Saleh