AKAL DAN WAHYU by Fauzan Saleh
AKAL DAN WAHYU
Fides quaerens intellectum,
Iman menuntut pengertian.
Jika manusia
dengan kemampuan intelektualnya mampu menemukan kebenaran, mengapa Tuhan
mengutus para nabi untuk menyampaikan kebenaran dan menuntut manusia untuk
mengimani kebenaran ajaran para nabi itu?
Inilah
pertanyaan sederhana yang jadi bahan diskusi kita dalam perkuliahan Filsafat
Pendidikan Islam, di Smt. I C, Prodi Pendidikan Islam, Pascasarjana Unmuh
Surabaya, Sabtu, 28 Oktober 2023. Pertanyaan sederhana ini ternyata masih cukup
membingungkan dan sulit ditemukan jawabannya yang tepat di antara mahasiswa
yang menghadiri perkuliahan dengan tema kajian “Manusia, Alam Semesta, dan
Kebutuhan akan Pendidikan.”
Manusia dengan
kecerdasan intelektualnya telah mampu membangun peradaban yang sangat maju
berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang terus berkembang. Dengan
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi itu manusia bisa merumuskan sendiri
sistem hukum, sistem politik, prinsip-prinsip etika, bentuk pemerintahan,
tatanan ekonomi, dan nilai-nilai sosial budaya yang sangat canggih tanpa
sedikit pun menjadikan Firman Tuhan atau wahyu sebagai referensi mereka.
Hampir semua kemajuan
peradaban umat manusia saat ini dibangun atau mengikuti pola dasar peradaban
Barat. Peradaban Barat-lah yang saat ini mendominasi hampir seluruh lini kehidupan
umat manusia di muka Bumi. Karena peradaban Barat dibangun atas prinsip sekulerisme-materialisme
yang menolak peran agama, maka wahyu sebagai panduan hidup manusia seolah-olah
sudah tidak diperlukan lagi. Bagi kebanyakan bangsa Barat, agama tidak lebih
dari sekedar elemen budaya yang membentuk tradisi kehidupan suatu masyarakat. Bahkan
bagi mereka, agama atau wahyu sudah menjadi bagian dari mitos.
Benarkah ketika
manusia sudah mampu menemukan kebenaran dengan akal pikirannya tidak perlu lagi
pada kebenaran wahyu?
Secara
sederhana hal itu dapat dijelaskan bahwa, pertama, manusia perlu
mendapatkan kepastian dalam hidupnya. Kepastian atas suatu kebenaran dan nilai yang
bisa dijadikan keyakinannya, agar ia tidak terus-menerus terombang-ambing oleh
berbagai persoalan hidup yang berat dan membingungkan. Tanpa suatu keyakinan
yang mantap manusia akan menjadi korban kehampaan hidupnya. Wahyu sebagai
sumber doktrin dalam agama memiliki otoritas yang dapat dipercaya untuk
membimbing manusia mengenali kebenaran. Tidak dapat dipungkiri bahwa tidak
semua manusia mau menerima otoritas wahyu ini. Namun orang yang tidak mau
menerima kebenaran wahyu akan terus mencari-cari pijakan bagi hidupnya dengan
berspekulasi dalam ketidak-pastian yang serba membingungkan.
Dalam mencari
bisa saja orang menemukan apa yang dicarinya. Bisa juga dia menemukan hal lain
yang tidak dicarinya. Tetapi lebih sering orang terus kebingungan karena tidak
menemukan hakekat yang dapat dijadikan pedoman dalam hidupnya. Di sinilah agama
datang mengajarkan kebenaran secara instan melalui wahyu, agar manusia tidak
tersesat dalam pencariannya. Nabi Adam pun ketika pertama kali ditempatkan di
muka bumi tidak dibiarkan berlama-lama kebingungan dalam keadaan terlunta-luta
tanpa kepastian. Dia hanya bisa survive setelah mendapatkan bimbingan
dari Allah, berupa hidayah yang menuntunnya pada jalan kebenaran.
Kedua, apakah setiap manusia harus menerima segala bentuk kemajuan ilmu
pengetahuan untuk menjadikan dirinya hidup bahagia? Dengan kata lain, apakah
kebenaran sains dan keunggulan teknologi akan mampu memberikan ketenangan hidup
pada manusia, bebas dari rasa gelisah dan trauma ketika ia terus-menerus
dihadapkan pada bencana yang mengancam kehidupannya? Mampukah sains meredam
gejolak jiwa yang tak terpuaskan atas berbagai tuntutan yang menghimpit
hidupnya? Mungkin hal itu akan terpenuhi jika manusia dipandang secara material
belaka. Padahal kehidupan manusia sangat kompleks, tidak bisa dipandang hanya dari
satu dimensi saja. Jika manusia menganggap dirinya semata-mata sebagai makhluk material,
maka kehidupannya akan terasa sangat absurd, hambar, dan gersang, tanpa makna. Sains
tidak sepenuhnya bisa diandalkan untuk mewujudkan kesejahteraan hidup manusia. Hal
itu hanya bisa digali dari nilai-nilai spiritual yang diajarkan oleh agama
berdasarkan wahyu.
Ketiga, tidak semua manusia mampu menempuh pendidikan yang sangat tinggi
untuk bisa mencapai kebenaran sains sebagai syarat untuk meraih kehidupan yang
baik dan penuh makna. Kebenaran sains hanya bisa dicapai ketika manusia sudah
cukup terlatih kecerdasan intelektualnya, dengan menempuh pendidikan
bertahun-tahun, disertai pelatihan yang berat, dan dengan biaya yang mahal.
Bagi rakyat kecil kalangan masyarakat bawah sangat berat untuk bisa menggapai
kebenaran sains ketika dia tidak memiliki akses untuk memasuki jenjang
pendidikan yang bermutu. Berbeda dengan karakter sains yang elitis, agama bisa
diajarkan sejak manusia berusia kanak-kanak dengan tingkat kecerdasan yang
masih sangat terbatas. Pesan-pesan agama juga bisa dipahami dengan mudah oleh
masyarakat dari lapisan paling bawah hingga yang paling tinggi tingkatan
intelektualnya. Dengan agama manusia bisa dilatih mengenali ketenteraman,
kedamaian dan kesejukan batin yang akan memberikan keteguhan jiwa dan kematangan
kepribadiannya. Jadi, kehidupan yang baik dan penuh makna untuk meraih ketenteraman
dan kebahagiaan tidak melulu didapat dari sains. Agama bisa menjadi sumber
keyakinan untuk mewujudkan kehidupan yang baik dan penuh makna.
Memang manusia
tidak bisa hidup tanpa materi. Tetapi dia bukan benda materi yang akan
terpuaskan jiwanya jika kebutuhan materinya terpenuhi. Manusia mempunyai
kebutuhan yang bertingkat-tingkat, dan ketika suatu kebutuhan terpenuhi ia akan
menuntut kebutuhan lain untuk dipenuhi lebih lanjut. Manusia tidak pernah puas
dengan apa yang sudah dimilikinya. Jika tidak dikendalikan oleh suatu sistem
nilai dalam memenuhi kebutuhannya manusia bisa berubah menjadi rakus, buas,
bahkan liar. Di sisi lain, masih banyak orang yang tidak bisa memenuhi kebutuhan
materinya secara layak. Dia tidak kaya, berada di lingkungan yang terlalu
sederhana untuk bisa disebut sejahtera. Tetapi apakah orang seperti ini tidak
berhak untuk merasa bahagia atas sedikit kesenangan yang sudah cukup untuk
membuatnya bergembira dan bersyukur? Pandangan seperti ini hanya bisa
dikembangkan dalam ajaran agama.
Di samping itu
semua, akal pun ternyata bisa menipu, atau sebaliknya, tertipu. Inilah
kenyataan yang terjadi saat ini, justru pada era di mana manusia
mengagung-agungkan kecerdasan intelektualnya. Bahkan kecerdasan pun bisa dibuat
tiruannya, kecerdasan buatan, artificial intelligence. Untuk apa? Ternyata
artificial intelligence ini tidak selalu dikembangkan untuk mendatangkan
kebaikan, tetapi sering juga digunakan untuk menipu dan mewujudkan
keinginan-keinginan jahat manusia. Jadi, jika al-Ghazali (w. 1111) sudah
menyuarakan pandangannya bahwa akal itu menipu, hal itu bukan membual. Saat
inilah pandangan al-Ghazali ini menemukan faktanya secara gamblang.
Maka sebagai
alternatif al-Ghazali mengemukakan elemen ruhani yang mampu mengantarkan
manusia pada keyakinan. Al-Ghazali menggunakan istilah dzauq, rasa, yang
lebih mengarah pada makna kesadaran batin atau hati nurani manusia. Inilah
medium yang sangat efektif untuk mengenali hakekat kebenaran, bukan semata-mata
rasio. Rasio bisa menipu, atau tertipu. Maka tidak heran jika dewasa ini banyak
intelektual yang tidak lagi mengenali hakekat kebenaran. Mereka, dengan
kecanggihan ilmu dan tekonolgi yang dikuasainya, lebih suka memperturutkan
kepentingan-kepentingan pragmatis demi jabatan, status sosial, dan keuntungan
finansial atau politis. Mereka dengan suka rela menggadaikan keyakinan dan
imannya, tanpa merasa bersalah. Di sinilah rasa atau dzauq telah
disingkirkan, dan akalnya bisa diperkosa untuk kepentingan sesaat, meskipun
mungkin hati-nuraninya berontak, meronta-ronta. Ini merupakan pembenaran yang
terang benderang atas pandangan al-Ghazali di atas. Ingat, rusaknya suatu
negeri selain disebabkan oleh pemimpin yang tidak berilmu, juga oleh para
ilmuan yang salah dalam menggunakan akal pikirannya.
Terlepas dari
semua wacana di atas, bagaimana pun, kecerdasan intelektual itu sangat
diperlukan dalam memahami kebenaran wahyu. Wahyu disampaikan oleh Tuhan melalui
para Rasul untuk bisa dipahami oleh manusia. Tujuannya tentu agar wahyu itu
bisa memberikan arah kehidupan manusia pada kebaikan. Fides quaerens
intellectum, iman menuntut adanya penjelasan. Ajaran Islam pada hakekatnya
sangat rasional, tidak bertentangan dengan akal manusia dan kemajuan sains.
Itulah perlunya para intelektual Muslim terus menggali hikmah, mencoba menemukan
makna hakiki dari doktrin agamanya, kemudian menjelaskan makna doktrin itu
dengan baik pada masyarakat lebih luas. Masih banyak hal dari hikmah ajaran
Islam yang belum bisa dipahami dengan baik, sehingga kebanyakan umat Islam hanya
mengikutinya secara tradisonal semata. Untuk itu harus ada penjelasan yang
rinci agar doktrin bisa dipahami dengan baik dan benar.
Banyak contoh
yang dapat kita angkat di sini. Dalam diskusi kelas kemarin salah satu topik
menarik adalah mengapa kalau orang batal wudhu’nya karena buang angin,
misalnya, dia harus berwudhu’ dengan membasuh muka, tangan, kaki, dan bagian anggota
tubuh lainnya? Hal itu dapat dijelaskan antara lain sebagai berikut. Wudhu’
adalah tindakan ritual simbolis yang harus dilakukan sebagai syarat agar orang
bisa suci kembali sehingga bisa menjalankan shalat dengan sah. Mengapa yang
dibasuh hanya bagian-bagian luar dari sebagian anggota tubuh kita? Sekali lagi
itulah makna tindakan simbolis, sehingga dengan mengikuti prosedur seperti itu
sudah terpenuhi syarat dan rukun bersuci yang menjadi ketentuan yang harus
dipenuhi jika orang Islam ingin melaksanakan shalat. Yang penting, setiap tindakan
ritual itu mesti disertai niat.
Contoh lain
lagi terkait dengan sebuah hadits Rasulullah SAW yang melarang kita minum
sambil berdiri. Mengapa? Ternyata larangan itu bukan tanpa alasan, yang mungkin
belum bisa dijelaskan saat Rasulullah menyampaikan ajaran itu. Secara medis larangan
minum sambil bediri itu hanya bisa dijelaskan setelah umat manusia memasuki
abad modern dengan kemajuan ilmu kedokteran kontemporer. Namun, karena larangan
itu berasal dari Rasulullah mareka harus mematuhinya, tanpa ingin tahu apa alasannya.
Baru di era
sekarang inilah orang paham bahwa dengan minum sambil duduk, cairan yang kita
minum bisa membantu membersihkan ginjal, melarutkan kotoran-kotoran yang
mengendap di dalamnya. Tubuh pun menjadi lebih sehat. Hal itu tidak mungkin
terjadi ketika orang minum sambil berdiri. Ternyata sampai hal yang sederhana
itu pun perlu penjelasan agar kita paham akan hikmah dari adanya tuntunan dari
Rasulullah SAW tersebut. Orang pada era Rasulullah mungkin merasa tidak perlu
bertanya tentang hal itu. Cukuplah mereka mengikutinya sebagai bentuk kepatuhan
dan ketaatan pada Sunnah yang beliau ajarkan. Kalaupun dijelaskan barangkali
tidak mudah dipahami atau belum bisa dibuktikan secara ilmiah karena ilmu dan
peralatan kedokteran belum tersedia untuk menjelskannya.
Wassalam,
terimakasih.
Comments
Post a Comment