KOWE KUDU OBAH /By Fauzan Saleh

 

KOWE KUDU OBAH BEN URIPMU BERKAH

Oleh Fauzan Saleh

Ada seorang kawan mengabarkan saudaranya sedang sakit keras dan mohon didoakan agar yang sakit itu segera sembuh. Namun apa daya, Allah berkehendak lain. Selang beberapa hari berikutnya tersiar kabar bahwa saudaranya sudah meninggal dunia. Inna lillah wa-inna ilaihi raji’un. Namun almarhum ternyata meninggalkan suatu legacy yang sangat berharga. Sebuah wasiat yang entah dari mana asalnya namun tercatat terkait erat dengan perjuangan hidupnya: “Kowe kudu obah, ben uripmu berkah.” Maksudnya, engkau harus bergerak supaya hidupmu mendapat berkah. Demikian terjemahan bebas dari pitutur Jawa itu. Ini sangat mengesan sekali bagi saya. Pesan sederhana yang sarat makna ini layak kita kaji lebih lanjut.

Hidup memang harus selalu bergerak. Berhenti bergerak berarti mati. Sama dengan mesin. Dia dikatakan mati ketika tidak bisa digerakkan atau digunakan sesuai fungsinya. Meski manusia tidak identik dengan mesin, tetapi terkait dengan “gerak” tampaknya tidak terlalu jauh berbeda. Gerak adalah dinamika, dan dinamika adalah parameter adanya kehidupan. Hidup itu tumbuh, berkembang, bergerak dan terjadi perubahan-perubahan. Batu, bata, beton, pasir dan sejenisnya adalah benda mati karena tidak punya daya untuk menggerakkan dirinya secara otonom. Binatang dikatakan hidup ketika dia mengalamai pertumbuhan, perkembangan, gerak, atau bahkan evolusi. Sebagian binatang bahkan ada yang mengalami perubahan bentuk atau transformasi. Demikian pula dengan pepohonan. Dia dikatakan hidup jika menunjukkan elemen-elemen kehidupan seperti di atas. Jika tidak maka pohon itu dikatakan telah mati, mengering, akhirnya lapuk dan tumbang.

Jika mesin digerakkan oleh energi yang di-supply melalui rekayasa mekanik, maka manusia (demikian pula binatang dan tumbuh-tumbuhan) mempunyai mekanisme secara built-in yang telah tercipta sejak awal kejadiannya secara biologis. Untuk manusia, setelah proses panjang pembentukan wujud fisiknya dalam kandungan sang ibu, maka kemudian ruh ditiupkan padanya sehingga ia menjadi makhluk hidup. Proses kehidupan telah dimulai dari saat itu sampai pada waktunya dirinya cukup siap untuk meninggalkan ruang nyaman dalam kandungan sang ibu, guna melanjutkan kehidupan secara lebih otonom: menggerakkan paru, jantung, mata, dan organ fisik lainnya, serta menggunakan mulutnya untuk menelan makanan atau minuman. Kehidupan pun berlanjut tanpa dibantu oleh organisme yang terdapat dalam kandungan sang ibu lagi. Dia sudah dipisahkan dari placenta yang menjadi penopang kehidupan biologisnya saat masih berada dalam rahim sang ibu.

Saya pernah bertanya, mengapa setiap bayi yang lahir hampir pasti menangis. Saya tidak pernah mendapatkan jawaban yang tegas secara anatomis. Namun saya berkesimpulan bahwa hanya ada dua jenis bayi manusia yang lahir tidak menangis di dunia ini. Yang pertama adalah bayi sombong, dan yang kedua adalah (maaf) bayi yang lahir langsung mati. Ketika bayi itu lahir tidak menangis, (karena mungkin sombong?), maka sang perawat atau dokter langsung menepuk bagian tubuhnya agar dia tersentak, kaget, dan kemudian bereaksi dengan menangis. Saya mencoba mengkonfirmasi kesimpulan saya itu pada seorang kawan, dosen keperawatan dan bertitel doktor. Kurang lebih dia membenarkan kesimpulan saya di atas. Dengan menangis, kata kawan doktor keperawatan tersebut, maka sang bayi akan menggerakkan jantungnya agar segera berfungsi untuk mengalirkan darah ke seluruh organ tububnya, sehingga sistem sarafnya bisa bekerja sesuai fungsinya. Paru pun ikut aktif mengalirkan oksigin ke bagian-bagian tubuh yang lain. Maka dia pun bisa memulai kehidupan di dunia ini secara otonom, yang sangat jauh berbeda dengan kondisi kehidupan ketika dia masih berada dalam rahim sang ibu. Jadi menangis adalah gerak pertama yang harus dilakukan sang bayi dan sekaligus menandakan dia mampu memfungsikan jantung, paru, dan organ vital lainnya. Dia siap melanjutkan kehidupan di muka bumi ini, walaupun dengan segala keterbatasan dan ketergantungan pada orang-orang sekitarnya. Dia belum bisa mandiri sepenuhnya.

Setelah roh ditiupkan ke dalam jasad yang sudah terbentuk secara sempurna dalam rahim sang ibu, dan dia telah berproses selama sekian bulan dalam kandungan untuk siap dilahirkan ke dunia nyata, maka selanjutnya secara bertahap sang bayi manusia ini harus terus bergerak, belajar memfungsikan seluruh organ yang melekat pada dirinya. Kekuatan fisiknya mulai berkembang, matanya bergerak, pendengarannya mulai menangkap sinyal-sinyal suara yang mengandung pesan, tangan dan kaki mulai bisa digunakan sesuai keinginan, dan mulailah dia menyadari bahwa dia memiliki kemauan agar apa yang diperlukan untuk hidupnya dipenuhi.

Apa yang menjadi kemauannya mula-mula tidak bisa diekspresikan dengan kata-kata, karena dia belum bisa berbicara. Dia hanya bisa menangis untuk menunjukkan apa yang dia inginkan atau rasakan. Tetapi di situ sudah jelas bahwa dengan menangis sang bayi menunjukkan dia mempunyai kemauan dan tuntutan untuk dibantu supaya dipenuhi oleh orang lain. Dia masih sangat lemah untuk bisa mewujudkan kemauannya secara mandiri. Tetapi sekali lagi dia sudah menunjukkan dirinya memiliki kemauan, karsa dan kehendak. Adanya kemauan atau karsa dalam dirinya merupakan daya dorong bagi hidupnya untuk terus bergerak, tidak hanya diam, pasif, dan membisu.

Adanya kemauan inilah pada dasarnya yang menjadikan kehidupan itu dinamis. Setiap manusia selalu ingin mendapatkan apa yang menjadi kehendaknya: terpenuhinya kebutuhan pokok, hingga kebutuhan sekunder dan kebutuhan penunjang agar ia bisa merasakan hidup yang nyaman, aman, dan tenteram. Selanjutnya, setiap keinginan yang terpenuhi akan memunculkan keinginan baru yang belum terpikirkan sebelumnya. Demikianlah hidup manusia. C’est la vie, kata orang Perancis. Orang tidak pernah merasa cukup dengan apa yang diperolehnya, seberapa pun banyaknya yang dia hasilkan dari usahanya. Ini semua digerakkan oleh adanya kemauan, karsa, kehendak dan keinginan. Maka tidak heran jika kemudian muncul gaya hidup hedonis, konsumeristis, serba serakah, dan selalu merasa kurang. Hidup manusia seperti inilah yang membedakannya dari kehidupan binatang. Binatang akan merasa cukup jika dia sudah kenyang dan bebas dari ancaman predator. Dia tidak perlu tabungan di bank, simpanan kekayaan berlimpah, atau menumpuk-numpuk harta untuk memuaskan rasa tamaknya. Hanya manusia yang memiliki rasa tamak dan sifat rakus berlebihan.

Untuk mewujudkan kemauan dan keinginannya manusia harus mempunyai sumber energi, daya untuk bergerak mewujudkan apa yang jadi keinginannya. Pada diri setiap manusia juga terdapat qudrah, kemampuan atau daya, di samping iradah, atau kehendak. Hidup manusia tidak pernah selesai, seperti kata al-Qur’an, sampai dia masuk ke liang lahat. Untuk itu orang harus bekerja dan berbuat sesuatu untuk mengaktualisasikan kehendak dan daya-kemampuannya. Bagi manusia bekerja adalah kewajiban yang tak bisa dihindarkan. Menurut Sean Paul Sartre (1905-1980), dalam hidupnya manusia harus berbuat sesuatu, karena hanya dengan berbuat dia menunjukkan eksistensinya. Suatu perbuatan adalah perpindahan, gerakan, meninggalkan yang semula menuju ke tahapan berikutnya. Ia meninggalkan masa lalunya dan berusaha meraih sesuatu yang belum ada. Dalam berbuat manusia selalu memilih dalam kebebasan. Namun tidak jarang kita temui orang-orang yang hanya memiliki sedikit pilihan karena keterbatasannya.

Sartre mengaitkan antara l’etre pour soi (berada untuk dirinya) dengan kebebasan. Dalam kesadaran dirinya manusia juga melakukan peniadaan diri secara terus-menerus, neantisation. Artinya, dia menyadari dirinya bukan sesuatu yang lain dari apa yang tengah dia jalani. Ketika orang menyadari bahwa dirinya bukan seniman, bukan pedagang, bukan tehnisi, atau yang lainnya, maka dia akan menjalani kehidupannya secara berbeda dengan karakter masing-masing predikat di atas. Hal itu menunjukkan adanya suatu negativitas yang menegaskan jati dirinya yang sebenarnya (negation interne). Dengan begitu dia harus bisa melakukan sesuatu yang mencirikan jati dirinya sebagai entitas yang berbeda dari berbagai predikat di atas. Sebagai makhluk l’etre pour soi, manusia terus berbuat, berusaha untuk dapat ‘berada dalam diri,’ l’etre en soi. Tetapi hal itu tak mungkin. Oleh karena itu ia merasa terhukum pada kebebasannya sendiri, condemnee a etre libre. Mengapa?

Jadi manusia harus berbuat sebagai suatu tuntutan untuk menunjukkan eksistensinya. Dia tidak mau hidup tanpa kesibukan, karena dia bukan entitas yang sudah selesai, l’etre en soi. Tanpa berbuat, atau ketika dia dibebaskan dari suatu pekerjaan, secara riil dia akan merasa diasingkan dari dunianya. Itulah hakekat dari condemnee a etre libre, terhukum dengan kebebasannya sendiri. Mudahnya, sekedar ilustrasi, jika seorang buruh atau karyawan terkena pemutusan hubungan kerja, pada dasarnya dia telah dibebaskan dari keharusan untuk melakukan tugas-tugasnya. Dia diberi kebebasan. Namun hal itu justru sangat dia takuti, karena dia merasa kehilangan lapangan pekerjaan, yang berarti dia kehilangan mata pencaharian.

Lebih dari sekedar kehilangan mata pencaharian, dia juga merasakan beratnya beban kehidupan karena tidak bisa melakukan suatu perbuatan untuk menunjukkan jati dirinya sebagai manusia. Dalam bahasa psikologi hal itu juga disebut sebagai hilangnya ruang untuk mengaktualisasikan diri. Dia pun akan merasa gagal untuk mewujudkan salah satu elemen dari kebutuhan hidup manusia, seperti dijelaskan dalam kajian Abraham Maslow. Itulah hakekat eksistensialisme sebagai pandangan filsafat. Kehilangan pekerjaan akan lebih dirasakan sebagai hilangnya orientasi kehidupan. Orang akan bingung dengan sendirinya ketika dia tidak tahu apa yang mesti dilakukan untuk mengisi hari-harinya yang kosong tanpa makna.

Kembali pada ungkapan pokok di atas, kowe kudu obah, ben uripmu berkah, tampaknya pesan sarat makna itu sangat tepat jika dikaitkan dengan pandangan eksistensialisme tersebut. Namun eksistensialisme yang dikandung dalam ungkapan tersebut tentu berbeda jauh dengan pandangan Sartre yang didasarkan pada prinsip-prinsip ateisme. Konsep eksistensialisme Sartre bertitik tolak dari pemahaman bahwa eksistensialisme dibangun untuk mewujudkan kebebasan manusia yang hakiki, dan hal itu hanya akan tercapai jika manusia menolak keyakinan akan adanya Tuhan. Dengan kata lain, menurut Sartre, eksistensialisme hakiki bertentangan dengan keyakinan akan adanya Tuhan. Sartre pun dikenal sebagai seorang tokoh filsafat eksistensialisme ateis.

Hal itu sangat berbeda dengan maksud pesan di atas, karena di situ ada ungkapan ben uripmu berkah, biar hidupmu mendapatkan berkah. Apa maknanya? Sebagai umat beragama kita dalam menjalani kehidupan tidak bisa lepas dari mengharap karunia Ilahi dan kasih sayang-Nya. Kedua elemen metafisis ini hanya dikenali oleh orang yang beriman. Berkah, seperti banyak diungkap oleh seorang ahli tafsir, berarti mendatangkan banyak kebaikan atau kebajikan, “kebajikan melimpah ruah.” Orang yang mau menggerakkan tubuhnya, melatih diri dengan berbagai macam ketrampilan akan menjadi modal dasar bagi kehidupannya di masa yang akan datang. Dia tidak mau diam, karena dia terus dalam “proses menjadi,” on the process of becoming. Dia tidak pernah selesai. Maka dia tidak mau diam, tidak mau berhenti dan menganggur. Apa pun yang bisa dia perbuat itulah yang akan dia lakukan, baik untuk kepentingan diri sendiri maupun untuk kepentingan orang banyak. Mungkin dengan berbuat itu dia tidak selalu mengharapkan hasil atau imbalan secara material. Tetapi dengan berbuat atau “obah” dia bisa mengharap datangnya berkah untuk hidupnya.

Untuk bisa “obah” manusia harus punya modal cukup banyak. Mengapa? Tentu agar dia memiliki lebih banyak alternatif. Semakin banyak alternatif yang dia miliki semakin leluasa dia bisa menggerakkan dirinya untuk “obah.” Gampangya, dari awal orang harus berusaha mengasah keterampilannya, mengembangkan life skill, untuk menjalani kehidupan yang masih panjang. Jika tangan tidak pernah digerakkan untuk mengerjakan kegiatan-kegiatan yang diperlukan untuk hidupnya maka tangan ini tidak akan mendatangkan berkah dan semakin kurang bisa mendukung pemenuhan kebutuhan hidupnya. Apalagi bisa membantu orang lain. Sebaliknya, jika sejak dari awal tangan terus dilatih untuk mengerjakan apa saja yang mungkin bisa dia lakukan maka keterampilan itu akan semakin terasah dan hasil kerjanya akan semakin berkualitas. Ketika hasil kerja tangannya semakin berkualitas maka apresiasi orang padanya juga semakin tinggi, sehingga dengan itu dia bisa mendapatkan banyak uang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Kerja tangannya, karena mau obah, akan mendatangkan berkah bagi hidupnya.

Intinya, “kowe kudu obah, ben uripmu berkah” menuntut manusia agar berkreativitas, mengembangkan potensi yang terpendam dalam dirinya untuk menopang kebutuhan hidupnya yang semakin kompleks. Jangan biarkan potensi itu mandek atau menjadi idle, beku dan nganggur karena tidak digerakkan. Tubuh akan menjadi sehat dan kuat kalau sering digerakkan. Itulah berkah dari obah untuk tubuh kita. Demikian pula dengan otak atau potensi intelektual kita. Jika potensi intelektual itu tidak dilatih dari awal, digerakkan untuk bisa berpikir kritis dan kreatif maka otak akan mandeg, tidak bisa berfungsi. Orang pun akan menjadi bodoh, tidak mampu merespon dinamika sosial yang harus dihadapi. Bahkan sekedar untuk bisa memenuhi kebutuhan dasar makan dan minumnya saja mungkin dia akan mengalami kesulitan.

Pada hakekatnya setiap lembaga pendidikan mempunyai misi utama untuk membekali anak didiknya dengan life skill, dengan menggerakkan berbagai potensi terpendam yang ada pada diri anak didiknya. Maka kita pun mengenal berbagai rumusan tentang tujuan pendidikan sebagaimana telah dirumuskan oleh para pakar pendidikan. Ada yang menyebutkan bahwa tujuan pendidikan ialah untuk mengembangkan kemampuan manusia dalam mengolah dan mengelola sumber daya alam untuk kesejahteraan hidup manusia. Pendapat lain menyebutkan bahwa tujuan pendidikan bisa berbeda-beda antara satu bangsa dengan bangsa lainnya. Tujuan pendidikan juga terus berubah dan berkembang sesuai dengan gerak zaman. Sistem pendidikan nasional kita telah menetapkan tujuannya yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.

Orang masih banyak mengeluh bahwa lembaga-lembaga pendidikan kita belum bisa mengantarkan semua lulusannya pada lapangan kerja yang ideal. Masih banyak sarjana yang belum terserap dalam lapangan kerja setelah menyelesaikan studi jenjang S1 atau yang lebih tinggi lagi. Kesalahan tentu tidak mesti ditimpakan pada lembaga pendidikan saja. Banyak faktor lain yang ikut menentukan bagaimana setiap warga negara bisa memperoleh pekerjaan sesuai tingkat pendidikannya. Tentu ini sangat memprihatinkan, untuk tidak mengatakan bahwa sekolahnya tidak memberi banyak manfaat. Namun jika sejak awal peserta didik sudah diajari "obah" mungkin jadi lain ceritanya. Penulis punya prinsip bahwa pengangguran adalah mereka yang tidak mau bekerja. Jika sejak kecil orang telah terbiasa bekerja apa saja tanpa pilih-pilih, asal halal, maka di kemudian hari ia akan mudah mendapatkan pekerjaan. Inilah obah yang membawa berkah. Pendidikan akan meningkatkan daya tawar seseorang untuk memasuki persaingan yang semakin keras antara berbagai kekuatan, baik di tingkat lokal maupun global.

Singkatnya, keberkahan akan diperoleh ketika manusia mau “obah,” bergerak dan selalu aktif, tidak diam dan kurang responsif atas dinamika yang berlangsung di lingkungannya. Setiap potensi yang berhasil dikembangkan akan berperan sebagai instrument untuk mengolah sumber daya ekonomi untuk membangun kehidupan yang sejahtera, baik untuk pribadi maupun sesama, dengan selalu mengharap rahmat dan ridho dari Allah SWT.

Comments

Popular posts from this blog

Syekh Wasil Setono Gedong/by Fauzan Saleh

AGAMA ITU MENYENTUH RASA