Syekh Wasil Setono Gedong/by Fauzan Saleh
SYEKH WASIL SETONO GEDONG
Oleh Fauzan Saleh
Kediri sebagai
suatu wilayah di pedalaman Jawa Timur memiliki sejarah yang cukup panjang.
Catatan sejarah menyebutkan bahwa nama Kediri sudah dikenal dalam sebuah
prasasti kuno bertarikh tahun Saka 706 atau 734 Masehi. Nama Kediri juga banyak
disebut dalam naskah-naskah kuno berbahasa Jawa kuno, seperti Kitab
Samaradana, Pararaton, Negara Kertagama dan Kitab Calon Arang.
Beberapa prasasti juga sudah menyebut nama Kediri sebagai suatu entitas
sosial-politik, seperti Prasasti Ceber, berangka tahun saka 1109 yang berada di
desa Ceker (sekarang Desa Sukoanyar, Kecamatan Mojo, Kabupaten Kediri). Dalam
prasasti ini disebutkan bahwa sang raja telah kembali harapannya di Bhumi
Kadiri (Sri Maharaja Masuk Ri Siminaninaring Bhumi Kadiri). Prasasti ini
juga menyebutkan bahwa karena penduduk desa Ceker dianggap telah berjasa pada
sang raja maka penduduk desa itu mendapat hadiah dengan menjadikan desa
tersebut sebagai desa perdikan, desa yang dibebaskan dari kewajiban membayar
pajak pada pemerintah.
Dengan fakta di
atas dapat dikatakan bahwa keberadaan Kediri sebagai entitas sosial-politik
bisa dilacak jauh sebelum kedatangan Islam ke Tanah Jawa. Sumber-sumber yang
menjadi penunjuk keberadaannya bisa berupa prasasti, karya sastra kuno dalam
bentuk legenda maupun babat, sebelum munculnya karya-karya sejarah modern.
Dahulu Kediri juga dikenal sebagai sebuah kerajaan yang cukup berwibawa dan
disegani oleh kawan maupun lawan. Sebagai sebuah kerajaan, Kediri mampu
mengembangkan kekuasaannya dari tahun 1045 sampai dengan 1222, dengan ibukota
Daha atau Dahanapura. Di antara raja-raja yang berkuasa pada masa itu ialah Sri
Samarawijaya (1042 - ?) dan Raja Kertajaya (1194-1222). Disebutkan pula bahwa
Kerajaan Kediri ini akhirnya runtuh oleh pemberontakan Ken Arok pada tahun
1222. Hal itu, menurut salah satu sumber, karena Kertajaya terkenal sebagai
penguasa yang suka memeras dan mengambil hak rakyatnya. Dia juga sering
berseberangan dengan pandangan para pemuka agama di masanya. Para pemuka agama
ini akhirnya menyingkir dari Kerajaan Kediri dan meminta perlindungan pada Ken
Arok. Dari sanalah Ken Arok mulai rencananya untuk menaklukkan Kediri dengan
melakukan gerakan bawah tanah, dan secara bertahap menyusun kekuatan untuk melakukan
kudeta terhadap Prabu Kertajaya.
Keberadaan
Kediri sebagai entitas sosial-politik maupun sebagai basis pengembangan budaya
telah ikut berperan dalam mengukir sejarah masa lalu bangsa Indonesia. Sang
Prabu Sri Aji Joyoboyo dikenal sebagai seorang raja sekaligus pujangga yang
banyak mewariskan nilai-nilai sosial budaya bagi masyarakat Kediri dan sekitarnya.
Salah satu warisannya, Serat Jayabaya atau Jangka Jayabaya, masih
bisa dibaca hingga saat ini. Tokoh penting lain yang selalu dikenang perannya
dalam perkembangan sejarah Kediri ialah Syekh Wasil Syamsudin yang makamnya
hingga kini tetap terpelihara dan dijadikan situs ziarah bagi sebagian umat
Islam. Situs makam yang menyatu dengan Masjid Auliya Setono Gedong di pusat
Kota Kediri ini selalu ramai dikunjungi para peziarah, terutama pada malam
Jum’at dan lebih-lebih pada Bulan Ramadhan. Mereka datang dari berbagai kota di
Jawa maupun luar Jawa. Kehadiran para peziarah ini mencerminkan pengakuan
sekaligus penghormatan atas ketokohan Syekh Wasil sebagai Waliyullah dan sosok
yang pertama kali menyebarkan ajaran Islam di wilayah pedalaman Jawa bagian
timur ini.
Sejauh ini
narasi tentang ketokohan Syekh Wasil Syamsudin lebih banyak diketahui melalui
cerita tutur yang beredar di kalangan warga masyarakat di Kediri dan
sekitarnya. Belum banyak sumber rujukan otentik tentang sosok yang banyak
dihormati masyarakat Muslim di Kediri tersebut. Dikatakan bahwa para ahli
sejarah pun belum mampu mengungkap secara detil riwayat hidup Syekh Wasil, atau
Mbah Wasil ini. “Hanya sedikit sumber dan dugaan berdasar analisa sejarah dan
arsitektur serta anatomi bangunan makam” yang bisa dijadikan bahan untuk
menjelaskan riwayat hidup Mbah Wasil. Meski demikian, bukan berarti bahwa
ketiadaan sumber otentik tentang sosok ini menjadikan masyarakat kurang yakin
akan ketokohan Syekh Wasil sebagai perintis penyebaran ajaran Islam di wilayah
Kediri dan sekitarnya. Dengan pandangan seperti itu tidak heran jika masyarakat
Kediri menyatakan bahwa Mbah Wasil ini bisa dikategorikan sebagai seorang
Waliyullah.
Kenangan
tentang Syekh Wasil Syamsuddin telah menyatu dalam kehidupan sosial budaya
masyarakat Kediri. Namun sejak kapan dia dikenali sebagai sosok yang berperan
dalam penyebaran Islam di wilayah Kediri tampaknya masih sulit dilacak.
Bukti-bukti antropologis dan arkeologis kurang mendukung kepastian kapan tokoh
sentral ini mulai berperan dalam sejarah Kediri. Meskipun demikian, adanya
makam Mbah Wasil di pusat Kota Kediri telah menjadi dasar keyakinan akan
keberadaan Syekh Wasil ini dan peran sosial budayanya di masa lalu. Mungkin
karena minimnya budaya literasi di masa lalu, keberadaan seorang tokoh tidak
selalu dipermasalahkan dari sisi akurasi historisitasnya. Seperti halnya
tokoh-tokoh agama dan budaya bangsa kita di masa lalu, keberadaannya tidak
selalu didukung oleh bukti-bukti sejarah secara otentik, namun keyakinan
masyarakat tentang peran dan jasanya sangat sulit disangkal. Sebagian
masyarakat beranggapan lebih penting keberadaan situs yang menandai kehadiran
tokoh tersebut daripada narasi ilmiah yang menjadi pendukung sejarahnya. Tulisan
ini ingin mendeskripsikan keberadaan situs Mbah Wasil di Kampung Setono Gedong,
Kota Kediri, dan narasi tentang ketokohan Mbah Wasil yang dikembangkan oleh
warga masyarakat Kota Kediri dan para pelaku ziarah ke makam tersebut.
Setono Gedong
adalah nama sebuah kampung di tengah Kota Kediri yang dikenal sebagi locus
kompleks makam kuno yang disakralkan. Makam itu sudah cukup lama menjadi
destinasi wisata religi bagi sebagian kalangan umat Islam untuk melakukan
ziarah ke makam Syekh Wasil Sulaiman Syamsuddin. Oleh kalangan masyarakat
Kediri situs tersebut lebih dikenal sebagai makam Syekh Wasil atau makam Mbah
Wasil. Kedudukannya sebagai penyebar Islam pertama mendapatkan penghargaan
sangat tinggi, sehingga status keulamaannya dipandang sebanding dengan para
wali perintis awal penyebaran Islam di Tanah Jawa. Oleh karena itu, makamnya
pun dianggap memiliki karomah tersendiri untuk ber-tawassul bagi mereka
yang mengingikan agar cita-citanya terkabul. Untuk tujuan tersebut berbagai
do’a dan wirid serta bacaan-bacaan khusus sering dilantunkan di sekeliling
makam. Keberadaan makam yang menyatu dengan Masjid Aulia’ telah menambahkan
kesakralan situs tersebut. Pada saat-saat tertentu makam tersebut selalu ramai
dikunjungi para peziarah dari sekitar Kediri maupun dari berbagai kota di luar
Kediri.
Situs
Setono Gedong berlokasi di belakang Masjid Aulia, Setono Gedong. Sebelum tahun
2003, Makam Mbah Wasil belum masuk ke dalam rangkaian wisata religi di Jawa.
Meski demikian, makam tersebut sudah ramai dikunjungi peziarah yang mengetahui
keberadaan makam itu dari mulut ke mulut. Untuk meningkatkan kapasitasnya
sebagai destinasi wisata religi maka pada tahun 2003 Pemerintah Kota Kediri
melakukan pemugaran makam Mbah Wasil (dan Masjid Auliya’). Pemugaran itu dapat
diselesaikan pada tahun 2007 dan makam tersebut dibuka secara resmi menjadi
destinasi wisata religi pada masa pemerintahan Walikota H.A Maschut. (w. 2021,
menjabat Wali Kota Kediri 1999-2009).
Seperti
tergambar pada foto di atas, para pengunjung atau peziarah selalu ramai
mendatangi situs Syekh Wasil untuk melakukan ritual yang sudah menjadi tradisi
dalam praktik ziarah kubur. Ramainya pengunjung situs tersebut dapat dilihat
dari sejumlah kendaraan yang parkir di depan pintu gerbang jalan menuju Masjid Setono
Gedong. Pintu gerbang itu dibuat pada tahun 2002 dengan gaya kombinasi antara
seni tradional dan modern. Gaya tradisional tampak pada hiasan yang memakai motif daun-daunan berjumlah tiga
lembar, kemudian di bagian atasnya ditambah dengan motif bunga matahari. Ornamentasi itu
dibuat pada masing-masing bagian sisi kanan dan kiri gapura secara serasi. Sedangkan
pada bagian atas gapura terdapat arca Garudeya (Garuda) dengan membawa
sebuah kendi di atas kepalanya. Pembuatan ornament gapura luar ini ternyata
mengadopsi ukir-ukiran dan relief kuno yang terdapat pada makam Syekh Wasil. Paling
menarik dari pintu gerbang jalan menuju Masjid-Makam Setono Gedong adalah
adanya arca Garuda membawa sebuah kendi, dan di bagian belakang kepalanya juga
di tambah relief berupa kepala burung rajawali. Ukiran dan relief ini
menunjukkan adanya pengaruh Hindu yang
masih kental dalam situs Syekh Wasil. Relief tersebut juga membuktikan bahwa
masyarakat di sekitar masjid Auliya’ ini ternyata sudah cukup familier dengan filosofis
cerita Garuda yang sebenarnya.
Sosok Mbah Wasil dalam Narasi Sejarah Lokal
Sosok Mbah Wasil sudah banyak dikenal di kalangan masyarakat Kediri
dan sekitarnya. Namun gambaran untuh tentang sosok ini masih belum didapatkan
dalam literatur atau sumber rujukan yang baku. Nama lengkapnya disebutkan
secara berbeda-beda antara satu penulis dengan penulis yang lain. Sebutan yang
sering digunakan ialah Syekh Sulaiman Syamsudin al-Wasil atau Syekh Ali Syamsu
Zain. Sebagai tokoh penyebar agama Islam pertama di lingkungan masyarakat
Kediri, tokoh ini juga dikenal sebagai Waliyullah. Di samping itu Syekh Wasil
juga dikenal dengan sebutan akrabnya, yaitu Mbah Wasil. Penggunaan kata “Mbah”
untuk menyapa tokoh ini memang tidak lazim bagi para wali. Tidak ada wali
penyebar agama Islam di Tanah Jawa yang disebut dengan Mbah. “Mbah” yang
berarti “kakek,” selain bermakna penghormatan pada yang dianggap tua, juga
biasa digunakan oleh masyarakat Jawa untuk menunjukkan adanya kedekatan kekerabatan sekaligus hubungan emosional antara tokoh yang dimaksud dengan warga yang
mengenalinya. Kedekatan hubungan emosional ini juga menandakan bahwa Mbah Wasil
dianggap sebagai bagian integral dari warga masyarakat, seolah-olah warga
Kediri dan sekitarnya masih satu keturunan atau mempunyai hubungan kekerabatan
dengan sosok Mbah Wasil ini. Setidak-tidaknya hal itu menunjukkan bahwa
masyarakat Kediri sudah mengenal betul ketokohan Syekh Wasil Syamsudin ini.
Situs makam Mbah Wasil yang selalu ramai dikunjungi oleh para
peziarah ini menandakan suatu fenomena keagamaan yang unik. Ikatan emosional
yang dibangun berdasarkan kepercayaan akan adanya karomah sebagai Waliyullah pada
tokoh yang sudah lama dimakamkan ini diyakini mampu mendatangkan barokah. Maka
tidak heran jika para peziarah itu bukan hanya berasal dari Kota Kediri saja,
tetapi juga dari tempat-tempat yang jauh, termasuk dari luar Jawa.
Mereka datang untuk berdoa, membaca tahlil, membaca al-Qur’an, dan
kegiatan ritual lainnya. Namun ada juga yang datang sekedar untuk melihat-lihat,
ingin tahu seperti apa keadaan situs pemakaman tersebut. Dengan berbagai
praktik ritual itu mereka memiliki bermacam-macam tujuan. Ada yang ingin
mencari berkah, atau mendapatkan suatu pengalaman spiritual secara mistik yang
dianggap akan memberikan kekuatan batin tertentu untuk menghadapi problem yang tengah
dialaminya. Ada juga yang datang secara khusus karena suatu hajat, seperti agar
bisnisnya lancar, dagangannya laris, ingin membuka usaha baru, atau ingin
segera mendapatkan jodoh. Bahkan, menurut penuturan seorang netizen dalam
status facebooknya, ada yang berdoa agar diizinkan oleh istrinya untuk menikah
lagi. Berbagai macam tujuan orang datang ke makam Mbah Wasil ini menunjukkan
bahwa tokoh tersebut memang memiliki kelebihan tersendiri, sehingga makamnya
layak diziarahi karena dianggap bisa membantu para peziarah mendapatkan apa
yang mereka inginkan.
Tidak banyak
yang bisa disingkap dari latar belakang kehidupan tokoh Syekh Wasil ini. Dari
manakah ia berasal, siapa yang mengutus dia datang ke wilayah Kediri untuk
menyebarkan agama Islam, bagaimana ia belajar agama Islam sebelumnya, dan siapa
saja guru-gurunya sehingga ia menjadi ulama’ penyebar agama Islam?
Pertanyaan-pertanyaan ini sulit dicarikan jawabannya dari literatur yang
tersedia, khususnya terkait dengan ketokohan Syekh Wasil.
Catatan yang
sering dijadikan pegangan ialah bahwa Syekh Wasil menjalani tugas sebagai
penyebar agama Islam pada abad ke-12. Keterangan ini diberikan oleh Prof. Habib
Mustopho, Guru Besar sejarah Universitas Negeri Malang. Penelitian Prof. Habib didasarkan
pada data historis dan arkeologis. Data-data arkeologis itu didapat dari sebuah
prasasti berhuruf Jawa Kuno atau sebuah epigraf yang terdapat di kompleks makam
Mbah Wasil. Karena epigraf tersebut kurang lengkap—akibat tangan-tangan jahil
yang merusak benda purbakala tersebut—orang sulit mengetahui secara pasti
tanggal dan tahun kematiannya. Ini karena ada beberapa baris terakhir dari
epigraf dimaksud yang terhapus sehingga tidak bisa dibaca. Namun Prof. Habib
Mustopo merasa yakin bahwa berdasarkan pembacaan yang ia lakukan terhadap gaya
bahasa dalam prasasti tersebut sehingga ia bisa berkesimpulan kehidupan Syekh
al-Wasil Syamsudin berlangsung pada abad ke-12.
Disebutkan
lebih lanjut bahwa Syekh Wasil berasal dari Persia. Namun tidak pernah
dijelaskan bagaimana perjalanan tokoh ini dari Persia sampai di Kediri dan
bagaimana dia mampu berkomunikasi dengan bahasa yang bisa dipahami oleh
masyarakat setempat jika dia langsung datang dari Persia. Inilah salah satu
kerumitan sejarah yang sering didapati ketika kita berbicara tentang penyebaran
agama Islam di kawasan Nusantara, khususnya di Tanah Jawa.
Tulisan lain
yang layak dipertimbangkan ialah artikel singkat berjudul “Syekh Wasil Pembawa
Islam di Kediri,” dimuat dalam NU Onlie, http://www.nu.or.id/ ..., diakses tanggal 14 Januari 2014. Dalam tulisan ini antara
lain dijelaskan tentang nama asli Syekh Wasil yang hingga kini belum ada
kejelasan. Hal ini barang kali dapat dimaklumi ketika kita lihat cara
menuliskan nama tokoh ini pun berbeda-beda. Berdasarkan Jawapos.com yang
dijadikan rujukan, masyarakat secara turun-temurun menyebut nama tokoh ini
dengan Sulaiman Al-Wasil Syamsudin. Nama ini pun diduga merupakan nama
panggilan yang berasal dari kesepakatan masyarakat, bukan nama aslinya.
Disebutkan pula bahwa nama “al-Wasil” berarti pengajar atau guru. Kata al-Wasil
juga terdapat dalam epigraf makam tokoh yang kita kaji ini. Sedangkan nama
Syamsudin tercantum dalam sebuah sumber tertulis yang disimpan di Museum Pusat
di Jakarta. Nama lain untuk menyebut tokoh ini ialah Maulana Ali Syamsudin yang
membahas kitab Musyarar (?) atas permintaan Prabu Sri Aji Joyoboyo.
Namun setelah menjelaskan kandungan kitab Musyarar ini kepada Sang Prabu
Sri Aji Joyoboyo disebutkan bahwa Maulana Ali Syamsudin mukswa atau
menghilang secara tiba-tiba, tidak diketahui jejaknya. Demikianlah gambaran
Syekh Wasil sebagai guru spiritual Prabu Joyoboyo. Sekali lagi uraian ini masih
memerlukan kajian historis dan arkeologis lebih cermat lagi untuk memastikan
akurasi dan validitas narasi sejarahnya.
Salah satu
catatan yang bisa kita jadikan acuan dalam hal ini adalah buku kecil berjudul Hubungan
Prabu Sri Aji Joyoboyo dengan Syekh Wasil Pangeran Makkah: Tinjauan Kitab
Musarar dan Parmono Siddhi. Pada bagian yang diberi tajuk “Interpretasi”
dijelaskan bagaimana Kediri yang dialiri Sungai Brantas pada masanya merupakan
pusat kegiatan ekonomi dan sosial budaya yang cukup berkembang. Sungai Brantas,
sebagai sungai terpanjang kedua di Pulau Jawa setelah Bengawan Solo, melintasi
wilayah pedalaman di Jawa Timur bagian tengah. Sungai ini berperan sebagai
jalur transportasi utama yang menghubungkan wilayah pantai utara Jawa dan
pedalaman. Tidak sedikit penjelajah asing yang mendatangi wilayah pendalaman
Jawa ini dengan menyusuri Sungai Brantas. Dengan peran Sungai Brantas yang
sangat fital ini maka tidak heran jika Kediri kemudian berkembang menjadi pusat
perdagangan dan pengembangan sosial budaya. Desa (sekarang Kelurahan) Bandar,
yang berada di sisi barat sungai dan kini menjadi pusat keramaian Kota Kediri,
dahulunya merupakan pelabuhan besar tempat persinggahan para pendatang dari
berbagai penjuru Nusantara dan bahkan dari luar negeri, seperti China, Arab,
Persia dan India. Bisa diperkirakan kehadiran Syekh Wasil Syamsudin ke Kediri
terjadi pada masa-masa tersebut.
Melalui jalur
transportasi Sungai Brantas inilah Syekh Wasil Samsuddin bisa sampai di wilayah
Kediri. Hal itu sekaligus menunjukkan bahwa Kediri sejak masa itu sudah menjadi
perhatian masyarakat luas, sehingga para penjelajah dari negeri asing pun bisa
berdatangan ke wilayah tersebut untuk berbagai kepentingan. Maka, apa daya
tarik yang membuat bangsa-bangsa asing menjelajahi Sungai Brantas hingga sampai
di Kediri? Ada yang menyebutkan bahwa masa kehidupan Mbah Wasil sezaman dengan
pujangga Jawa yang terkenal, Sri Aji Joyoboyo. Keberadaan Kerajaan Kadiri di
bawah pemerintahan Sang Prabu Sri Aji Joyoboyo bisa jadi salah satu daya tarik
tersendiri bagi para pengembara untuk singgah dan tinggal di wilayah tersebut.
Jika memang demikian, maka apakah kiranya kepentingan Syekh Wasil Samsudin
untuk bertemu atau berupaya mengenali lebih jauh kekuasaan Sang Prabu Sri Aji
Joyoboyo tersebut. Memang ada yang menyebutkan bahwa kehidupan Syekh Wasil ini
berlangsung jauh setelah era Sri Aji Joyoboyo. Pendapat ini mengegaskan bahwa
Syekh Wasil hidup pada abad ke 15-16, sezaman dengan era Walisongo. Namun
menurut penelusuran Jurnalistik Ekspedisi Brantas 2, Radar Kediri
(2012), sejumlah peninggalan sejarah yang ditemukan di kompleks Makam
Setonogedong, Kota Kediri, menunjukkan bahwa Syekh Wasil hidup pada masa
kekuasaan Raja Sri Aji Joyoboyo, pada abad ke-11 dan 12. Hal itu juga
dipertegas oleh beberapa catatan sejarah dari para ahli sebagaimana dituturkan
oleh salah seorang juru kunci makam, Yusuf Wibisosno.
Melengkapi
penjelasan di atas, dengan merujuk pada dokumentasi Kelurahan Setono Gedong,
sebagaimana website yang tersedia terdapat beberapa versi
sejarah yang beredar di masyarakat tentang Mbah Wasil, tiga di antaranya ialah:
Versi 1: Mbah
Wasil, sebagaimana dikemukakan oleh beberapa ahli dimungkinkan adalah seorang
ulama besar dari Persia yang datang ke Kediri untuk membahas kitab Musyarar
atas undangan dari Raja Sri Aji Jayabaya. Tokoh inilah yang kemudian berupaya
menyebarkan dan mengembangkan agama Islam di Kediri. Sebagai seorang ulama
besar atau tokoh penting yang berjasa mengembangkan Islam di Kediri maka wajar
jika setelah meninggal beliau mendapat penghormatan yang tinggi dari
masyarakat. Kompleks bangunan makam Setono Gedong merupakan salah satu wujud
penghormatan yang diberikan oleh masyarakat terhadap jasa beliau dalam
mengembangkan agama Islam di Kediri.
Versi 2: Mbah
Wasil dipercaya adalah seorang keturunan Arab dari Mekah. Alkisah beliau akan
dijadikan pemimpin negara setempat, tetapi beliau menolaknya, sebab ia lebih
cinta pada Allah SWT. Kemudian beliau mengasingkan diri atau hijrah ke
Indonesia, dan kemudian menetap di Desa Setono Gedong, Kediri. Dalam kisahnya,
Mbah Wasil hendak membangun masjid dalam waktu satu malam, tetapi di saat dini
hari, sebelum bangunan itu benar-benar selesai, terdengar suara wanita yang
memukul lesung menumbuk padi. Suara orang menumbuk padi itu menandai bahwa hari
sudah beranjak pagi. Rencana Mbah Wasil pun urung terselesaikan, dan hasilnya
hanyalah pondasi bangunan yang sampai saat ini masih terlihat dalam kompleks
makam Setono Gedong tersebut.
Versi 3: Mbah
Wasil adalah tokoh penyebar agama Islam di Kediri yang hidup sejaman dengan
para Wali Songo. Tokoh ini dimungkinkan memiliki hubungan yang sangat dekat
dengan seorang wali, yaitu Sunan Drajat yang merupakan putra kedua dari Sunan
Ampel. Pendapat ini didasari oleh dua indikasi, pertama adanya kesamaan
arsitektur bangunan dan ornamentasi yang terdapat di kompleks bangunan Setono
Gedong dengan kompleks bangunan makam Sunan Drajad di Lamongan. Kedua, Istri
Sunan Drajat adalah Retno Ayu Condro Sekar, seorang Putri Adipati Kediri yang
bernama Suryo Adilogo.
Syekh Wasil dan
Sri Aji Joyoboyo
Dalam
Penelusuran Jurnalistik Ekspedisi Brantas Jawa Pos Radar Kediri (lihat Tauhid
Wijaya, 2012) disebutkan bahwa kedatangan Syekh Wasil di Kediri telah terekam
dalam beberapa bait Serat Musarar Jayabaya. Kutipan dalam bahasa Jawa Kuno itu
berbunyi sebagai berikut:
Maksihe bapa
anenggih
Langkung suka
ingkang rama
Sang Prabu
Jayabayane
Duk samana
cinarita
Pan arsa
katamiyan
Raja pandita
saking Rum
Nama Sultan
Maolana
Ngali Samsujen
kang nami
Sapraptane
sinambrama
Kalawan
pangabektine
Kalangkung
sinuba-nuba.
Artinya:
Kembali kepada
sang raja
Sedang bersuka
ria
Sang Prabu
Jayabaya
Pada saat itu diceritakan
Mendapat
kunjungan seorang tamu
Pandita raja
dari Rum
Sultan Maulana
Bernama Ngali
Samsujen/Ali Syamsudin
Kedatangan sang
tamu
Dengan restunya
Kemudian
mendapat sanjungan.
Dari
serangkaian bait-bait syair di atas dapat kita pahami bahwa masa keberadaan
Syekh Wasil, yang dalam kutipan di atas disebut dengan nama Ngali Samsujen,
bersamaan dengan masa kekuasaan Sang Prabu Sri Aji Joyoboyo, sekitar abad ke-11
dan 12.
Tentang serat
Musarar dijelaskan bahwa naskah tersebut merupakan karangan Sri Aji Joyoboyo
sendiri. Namun pendapat lain menyebutkan bahwa serat itu berasal dari tulisan
Sunan Giri di Gresik, Jawa Timur. Serat itu mengandung “ilmu alat” yang berguna
untuk memprediksi berbagai peristiwa yang akan terjadi di masa-masa yang akan
datang. Maka tidak salah jika dikatakan bahwa Serat Musarar menjadi dasar bagi
Sang Prabu Sri Aji Joyoboyo dalam menuliskan Kitab Jangka Jayabaya. Konon,
untuk kepentingan membedah Serat Musarar itulah maka Syekh Wasil diundang untuk
datang ke istana Raja Sri Aji Joyoboyo. Lebih lanjut dijelaskan bahwa Syekh
Wasil yang diundang ke istana untuk menjelaskan isi Serat Musarar tersebut ikut
memengaruhi arah penulisan Jangka Jayabaya, sehingga Jangka Jayabaya lebih
bernuansa Islami. Bahkan kedatangan Syekh Wasil juga dianggap membawa pengaruh
secara pribadi bagi Sang Raja dan kerajaan yang dipimpinnya. Beberapa sumber
menyebutkan bahwa atas pangaruh Syekh Wasil Sang Prabu Sri Aji Joyoboyo akhirnya
menerima Islam sebagai keyakinannya yang baru. Hanya saja Sang Raja tidak ingin
menampakkan keislamannya secara terus terang karena menjaga kewibawaan dirinya
sebagai raja dengan mayoritas rakyatnya yang masih mempertahankan keyakinan
lama mereka.
Kisah di atas
memang tidak sepenuhnya bisa diterima oleh para ahli sejarah. Radar Kediri
juga mengutip pendapat ahli sejarah dari Universitas Nusantara (UNP) Kediri,
Zainal Affandi, yang menyebutkan bahwa kehadiran Syekh Wasil di Kediri belum
bisa dipastikan berlangsung pada era Joyoboyo tersebut. Bahkan dia juga
meragukan nama Sultan Maulana Ali Syamsujen yang disebut dalam rangkaian bait
di atas adalah Syekh Wasil Syamsudin. Bisa jadi itu hanya kemiripan nama saja,
namun menunjuk pada sosok berbeda. “Kemiripan nama antara Maulana Ali
Syamsuddin dengan Sulaiman Al-Washil Syamsuddin belum dapat digunakan sebagai
bukti bahwa dua nama itu mengarah pada satu orang yang sekarang makamnya berada
di kompleks bangunan makam Setonogedong. Bisa jadi itu hanya dua nama yang
mirip.” Pandangan tersebut bisa jadi benar jika kita perhatikan argumentasi
yang disajikan lebih lanjut. Menurut Zainal, pada masa kekuasaan Sri Aji
Joyoboyo tersebut, pengaruh Hindu-Buda masih sangat kuat, bahkan masih berada
di puncak kejayaannya. Dalam kondisi seperti itu sangat sulit kemungkinan Islam
bisa menanamkan pengaruhnya pada kehidupan sosial budaya dan politik masyarakat
Kadiri di bawah kekuasaan Sri Aji Joyoboyo. Lebih lanjut ditegaskan oleh Zainal
bahwa berdasarkan bukti-bukti arkeologis, terutama hasil perbandingan terhadap
bentuk arsitektur dan ornamentasi yang terdapat dalam kompleks makam
Setonogedong, lebih mirip dengan yang biasa ditemukan pada era para wali di
abad ke-16 Masehi.
Berdasakan
kenyataan di atas maka Zainal Afandi lebih cenderung pada pendapat bahwa
kehidupan Syekh Wasil berlangsung sezaman dengan para wali songo pada abad
ke-16, sedangkan masa kekuasaan Sri Aji Joyoboyo berlangsung pada abad ke-12
Masehi. Bahkan disebutkan lebih lanjut bahwa Syekh Wasil mempunyai hubungan
yang sangat dekat dengan salah satu dari sembilan wali para penyebar agama
Islam yang utama di Tanah Jawa. Wali tersebut adalah Sunan Drajat, putra kedua
dari Sunan Ampel. Pendapat ini, menurut Zainal, didsarkan pada dua bukti
arkeologis: adanya kesamaan arsitektur bangunan dan ornamentasi yang terdapat
di kompleks bangunan makam Setonogedong dengan kompleks bangunan makam Sunan
Drajat di Lamongan. Selain itu, disebutkan pula bahwa istri Sunan Drajat, Retno
Ayu Condro Sekar, adalah seorang putri dari Adipati Kediri yang bernama Suryo
Adilogo. Namun di sini masih terdapat suatu keraguan terkait sosok siapa
Adipati Suryo Adilogo tersebut. Apakah Adipati Suryo Adilogo itu adalah Syekh
Wasil sendiri atau orang lain? Jika memang benar demikian maka bisa jadi Syekh
Wasil adalah mertua dari Sunan Drajat, yang disebut Adipati Suryo Adilogo.
Sekali lagi, menurut Zainal hal ini masih memerlukan kajian yang lebih mendalam
lagi.
Catatan Penutup
Narasi dan gambaran
tentang sosok Syekh Wasil ini tentu belum lengkap. Dalam tulisan ini, catatan
kaki dan sumber referensi terpaksa dipangkas untuk menghemat ruang. Tulisan
sederhana ini perlu segera diturunkan untuk menyongsong proses transformasi
IAIN Kediri menuju Universitas Islam Negeri (UIN) Kediri yang menurut rencana
akan mengambil nama UIN Syekh Wasil. Dengan tulisan sederhana ini diharapkan bisa
memberikan gambaran umum yang mudah dicerna oleh masyarakat luas, utamanya oleh
warga kampus. Ke depan perlu dilakukan penelitian ulang untuk dapat
merekonstruksi narasi Sejarah Syekh Wasil ini secara lebih komprehensif,
sehingga dihasilkan sebuah karya akademik yang bisa dipertanggung jawabkan,
baik secara metodologis maupun penyajian kontennya.
Penetapan nama
itu harus punya landasan akademik yang terjamin validitasnya. Inilah tugas
penting yang tidak bisa dikesampingkan oleh stakeholder UIN Kediri ke depan. Penetapan
nama juga bukan sekedar untuk memeperoleh legitimasi primordial, tetapi juga
untuk menemukan semangat dan bangunan cita-cita yang berakar pada karakter
sosok pemilik nama asli. Namun, sekali lagi, hal di atas tidak perlu mengurangi
pemahaman kita tentang kualitas ketokohan Syekh Wasil Syamsudin.
Untuk
memperkuat validitas ketokohan sosok Syekh Wasil juga dapat kita kembangkan
dengan menggali makna pengalaman keagamaan (religious experience).
Istilah tehnis ini secara teoritis dapat dijadikan sebagai dasar argumentasi
atau pembuktian akan adanya Tuhan. Dalam kajian Filsafat Agama, pengalaman
keagamaan akan menuntun manusia pada pengakuan akan adanya Tuhan. Dalam koteks
kajian ini pengalaman religius dapat kita pahami bahwa di balik berbagai
fenomena dan manifestasi keagamaan—seperti yang dapat diamati dari praktik
ritual di berbagai situs ziarah—terdapat suatu unsur penting yang menjadi
tulang punggung kehidupan manusia, yaitu keyakinan akan adanya Tuhan.
Keyakinan,
seperti dijelaskan oleh William James dalam bukunya yang sudah klasik, The
Varieties of Religious Experience (1961), adalah suatu kekuatan pendorong
bagi manusia untuk membangun kehidupannya sesuai dengan nilai-nilai yang
diajarkan oleh agama yang dianutnya. Ketika warga masyarakat datang
berduyun-duyun pada suatu situs ziarah atau destinasi wisata religi, seperti
makam-makam keramat atau tempat yang dipandang sakral, maka dapat dikatakan
bahwa mereka mempunyai ikatan kesadaran tentang hakekat yang mereka yakini.
Keberadaan situs ziarah berupa makam Syekh Wasil Syamsudin di kompleks
pemakaman umum yang menyatu dengan Masjid Auliya’ ini telah mengundang warga
masyarakat untuk melakukan ritual doa di kompleks makam tersebut. Secara
faktual-empiris, keberadaan makam dan kehadiran para peziarah secara reguler di
situs tersebut merupakan manifestasi dari pengakuan atas validitas ketokohan
Syekh Wasil Syamsudin.
Dari seluruh pembahasan
di atas dapat disampaikan beberapa kesimpulan sebagai berikut:
Pertama, Syekh Wasil Syamsuddin, yang bagi warga Kediri dan sekitarnya
lebih dikenal sebagai Mbah Wasil, merupakan sosok penyebar agama Islam angkatan
pertama sejak abad ke-12. Sekalipun kisah kehidupannya diketahui masyarakat
sebatas bersumber dari cerita tutur dan ditopang oleh sedikit artefak berupa
batu nisan yang diakui sebagai penanda masa meninggalnya, masyarakat begitu
yakin akan ketokohan dan perannya dalam penyebaran agama Islam di wilayah
Kediri dan sekitarnya. Keberadaan makam Mbah Wasil ini semula kurang menarik
perhatian publik, sampai akhirnya ada seorang kyai karismatik, KH. Hamim
Jazuli, yang dikenal dengan sebutan Gus Miek (w. 1993), menemukan kuburan
tersebut di situs Setono Gedong. Sejak saat itulah nama Mbah Wasil menjadi
semakin populer dan kuburannya di situs Setono Gedong banyak dikunjungi oleh
para peziarah. Tingkat kepopulerannya menjadi semakin tinggi ketika para
peneliti juga tertarik untuk meneliti “petilasan” yang berada di sisi utara
Masjid Auliya’ di kompleks Setono Gedong tersebut.
Kedua, sejauh ini memang belum ditemukan data yang akurat tentang
kehidupan Mbah Wasil dan peranannya dalam penyebaran agama Islam di Kediri.
Semua narasi tentang kehidupan dan perjuangannya yang berhasil dihimpun hanya
sebatas ingatan sebagian orang yang diterima berdasarkan tradisi tutur dari
satu generasi ke generasi berikutnya. Berdasarkan tradisi tutur itu pula
berbagai narasi disusun dan dipublikasikan dalam bentuk artikel singkat di
blogspot sehingga bisa diakses dengan mudah bagi yang ingin mengetahui kisah
kehidupan Mbah Wasil ini. Berbagai tulisan dan artikel pendek itu sering
mengulang-ulang materi yang sama, seolah-olah sudah tidak ada lagi hal baru
yang bisa disajikan oleh penulis lain. Dalam kondisi seperti ini cukup sulit
untuk mendeskripsikan sepak terjang dan kegiatan dakwah yang dilakukan Mbah
Wasil selama masa hidupnya. Demikian pula dengan warisan atau ajaran yang
ditinggalkannya untuk para murid dan generasi sesudahnya. Oleh karena itu bisa
dimakulumi jika terdapat kesulitan dalam memperoleh gambaran tentang apa yang
menjadi ajaran pokok Mbah Wasil atau kitab yang bisa dipelajari oleh para
muridnya. Ini berbeda, misalnya, dengan narasi tentang Wali Songo, yang kisah
kehidupannya, meskipun juga banyak didasarkan pada tradisi tutur, namun tampak
lebih lengkap di samping didukung oleh data-data arkeologis yang memadai guna
menunjang penelitian yang lebih akurat. Memang sudah ada beberapa tulisan yang
diterbitkan dalam bentuk buku. Namun narasi tentang Mbah Wasil dalam buku itu
hanya merupakan salah satu bagian dari sejumlah tokoh yang dibahas. Belum ada
narasi yang lengkap dan utuh seperti kisah para Wali Songo yang mendapatkan
perhatian lebih besar dari para peneliti.
Ketiga, lingkungan makam dan Masjid Setono Gedong merupakan nucleus
bagi ingatan kolektif warga tentang sosok Mbah Wasil. Situs itu segera menjadi
pusat ziarah yang penting bagi sebagian umat Islam, terutama bagi mereka yang
memandang ziarah kubur sebagai bagian dari ritual keagamaan mereka. Maka situs
makam Mbah Wasil menjadi semakin ramai dikunjungi orang dari berbagai tempat di
Tanah Air, sebuah tradisi yang belakangan sering disebut sebagai wisata religi.
Tradisi ziarah kubur yang berlangsung hampir setiap hari di situs Setono Gedong
dipandang sebagai bentuk penghormatan atas jasa-jasa Mbah Wasil sebagi sosok
penyebar agama Islam pertama di wilayah Kediri. Tingkat ketokohan Mbah Wasil
pun dinilai dari sisi ramainya kunjungan para peziarah yang datang ke makamnya.
Di samping itu, di masjid Auliya’ Setono Gedong yang menyatu dengan kompleks
pemakaman ini juga sering dilakukan jamaah Dzikrul Ghofilin, “pengingat bagi
mereka yang lalai atau lupa.” Pelaksanaan dzikir yang menyedot perhatian besar
warga masyarakat ini mula-mula digagas oleh tiga tokoh kyahi kharismatik, KH.
Hamid Pasuruan, KH. Hamim Jazuli (Gus Miek) Kediri, dan KH. Ahmad Siddiq
Jember, pada tahun 1960-an. Khusus untuk pelaksanaan di Masjid Auliya’ di
Setono Gedong, Dzikrul Ghofilin tidak bisa lepas dari aura Mbah Wasil.
Disebutkan bahwa sebelum memulai kegiatan Dzikrul Ghofilin di lingkungan Masjid
Auliya ini Gus Miek melakukan tawassul lebih dahulu dengan roh Mbah Wasil.
Sejak masa itulah kenangan akan Mbah Wasil menjadi sangat penting bagi masyarakat
Kediri dan sekitranya.
Keempat, terlepas dari kenyataan di lapangan tentang bagaimana sosok Mbah
Wasil ini dikenali oleh masyarakat bersama warisan yang diajarkannya yang masih
belum bisa dideskripsikan secara utuh, keberadaan tokoh panutan ini menjadi
sangat penting bagi masyarakat Kediri dan sekitarnya. Di samping sosok Sang
Prabu Sri Aji Joyoboyo yang dikenal sebagai penguasa kerajaan Kediri di masa
lalu yang sangat dihormati, keberadaan Mbah Wasil masih sangat penting dalam
kehidupan masyarakat Kediri yang religius. Para tokoh di lingkungan pesantren
dan warga pesantren secara umum sangat hormat pada Mbah Wasil, seolah-olah
Islam tak mungkin berkembang di wilayah Kediri tanpa kehadirannya. Kepatuhan
pada tradisi menghormati roh leluhur khususnya para penyebar agama di masa lalu
termanifestasikan antara lain dalam bentuk ziarah kubur dengan serangkaian
ritual tertentu di lingkungan situs Setono Gedong ini.
Comments
Post a Comment